Hai kamu! Iya. Kamu. Pria berjaket merah yang sedang berdiri
di ujung sana. Kemarilah. Duduklah disini bersamaku. Sebentar saja. Maka akan
kuceritakan sebuah cerita tentang penantian, tentang bagaimana menunggu
seseorang yang sejak lama kau kagumi. Ceritaku.
Kepada kamu yang mempunyai tatapan meneduhkan. Aku menyukaimu.
Sangat menyukaimu. Ketahuilah, rasa ini tercipta karena dirimu. Tatapan yang
meneduhkan itu, membuatku hanyut. Hanyut dalam rasa yang tercipta sendiri.
Kepada kamu, yang sangat suka tersenyum. Hei! Apa kamu tahu?
Aku sangat suka momen ketika kamu tersenyum. Atau bahkan tertawa. Aku suka
melihat lengkung kecil itu ada di bibirmu. Terlihat manis. Membuatku ikut
tersenyum. Membuatku tak bisa mengalihkan pandangan barang sekejap saja. Senyum
itu membiusku. Membuatku mabuk, dan hampir tak sadarkan diri. Seperti candu,
senyum itu selalu membuatku ketagihan. Membuatku selalu ingin menikmatinya. Bahkan,
aku sangat tak rela jika ketinggalan momen saat kamu tersenyum. Walau aku tahu,
alasan kamu tersenyum atau tertawa itu bukan aku. Iya, bukan aku.
Kepada kamu, yang selalu kulihat dari jauh. Hei, kamu yang
punggungnya selalu ku tunggu. Yang jejak kakinya selalu kunanti. Coba, lihatlah
aku. Aku, yang selalu berdiri di belakangmu. Aku, yang selalu mengawasimu dalam
jarak tertentu. Menjagamu diam-diam. Memelukmu dalam doa. Apa kamu pernah sadar
keberadaanku? Walau itu hanya sekejap saja?
Ah, kamu takkan pernah tahu rasanya jadi aku. Jadi aku, yang
hanya bisa berdiri jauh mengamatimu. Jadi aku, yang sekuat tenaga menahan rasa
sakit ketika kamu tanpa sadar dekat dengan wanita lain. Iya. Kamu takkan tahu
rasanya ketika duri-duri kecil itu menancap pada hatimu. Membuatmu harus merasakan
perih yang tidak berujung.
Aku tahu, kamu bahkan tidak pernah tahu rasanya ketika kamu
mengagumi seseorang terlalu dalam. Saking dalamnya, bahkan kamu tidak mengerti
dan tidak sadar saat rasa kagum itu berubah menjadi rasa suka. Iya. Tepat. Itu perasaanku.
Benar, perasaanku kepadamu yang bahkan tidak aku ketahui sejak kapan berubah.
Seperti terjatuh dalam samudera yang luas. Dan yang
kulakukan saat itu hanya menyelam. Menyelam dalam lautan yang tidak mempunyai
dasar. Seperti itulah perasaanku. Aku terus menyelam dalam harapan yang kubuat
sendiri. Yang akhirnya, menenggelamkanku dalam sebuah mimpi semu yang tak
berujung.
Saat aku memutuskan untuk berhenti menyelam dan menepi. Seperti
itulah, saat aku menyerah pada keadaan. Saat aku tersadar, bahwa rasa ini
takkan pernah terwujud. Saat aku putus asa terhadap mimpi yang kubuat. Saat aku
tak lagi percaya pada harapan yang telah ku gantung tinggi.
Jangan pernah sebut aku bodoh. Aku hanya kurang pintar. Terutama,
dalam mengendalikan semua harapan ini.
Untuk kamu, Mentariku. Tetaplah menyinari aku, semestamu. Walau
aku tahu, bukan hanya aku yang menikmati sinarmu.
Teruntuk kamu, Penyemangatku. Maafkan aku yang tak pernah
bisa untuk mengungkapkan perasaan ini. Maafkan aku yang tak pernah rela membagi
perasaanku padamu. Bukan, aku bukan tidak rela. Sungguh, aku bahkan sangat
ingin membaginya kepadamu. Tapi, apa kamu mau menerimanya? Apa kamu sudi untuk
merasakan perasaan yang kurasakan?
Pada tetes hujan yang turun hari ini, aku menitipkan rindu
pada tiap tetesnya padamu. Pada angin yang berhembus. Aku menitipkan sebuah
bisikan untukmu. Bahwa aku menyayangimu. Dan pada pekatnya malam, aku
menitipkan rasa ini. Kepada kamu, aku menitipkan sebagian hatiku di sudut tak
tersentuh di ruang hatimu, ya. Tolong jaga baik-baik hatiku. J
Dan inilah akhir dari sebuah bait-bait tak bermakna yang
hanya bisa terekam dalam sebuah lembaran putih bersih tak bernoda. Kata-kata
dari seorang pengagum rahasiamu.