My friends keep saying you’re untouchable. –Notice Me, David
Archuleta.
+++
Dia masih berdiri disana. Dengan setelan
celana jeans hitam dan kaus yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di
depan gue sambil menundukkan kepala.
“Maafin gue,” katanya dengan
suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak kepalanya.
“Gapapa.” Balas gue.
++++
Nggak
ada yang istimewa dari dia. Hanya seorang cewek yang mempunyai tinggi sebahu
gue. Dia, ga ada lebihnya. Lebihnya hanya lengkung kecil di bibirnya yang
selalu terpasang seperti sudah di-setting setiap hari. Lebihnya hanya pada
derai tawanya yang besar walau dia perempuan. Lebihnya hanya pada suaranya yang
selalu terdengar saat kami berpapasan dan dia memanggil nama gue dengan kencang
atau sekedar menyapa, “Hai!”.
Lebihnya
dia hanya disitu. Gue pertama kenal dia dalam acara ospek jurusan. Jangan
bayangkan dia adalah orang yang bersinar. Nggak. Bahkan waktu itu dia sama
sekali ga menarik perhatian.
Waktu
membuat gue dekat dengan dia di berbagai kegiatan. Gue jadi terbiasa dengan
suara tawanya yang khas itu. Terbiasa dengan muka polosnya yang percaya padahal
dia sedang dibohongi habis-habisan. Terbiasa dengan muka kagetnya begitu dia
tau faktanya dan berteriak kepada orang yang telah membohonginya dengan
berbagai umpatan. Gue terbiasa.
Sampai
akhirnya perasaan itu datang. Perasaan asing yang membuat gue nyaman atas
kehadiran dia disisi gue. Saat bersamanya, gue bisa jadi diri gue. Gue bisa
tertawa sepuas gue. Dekat dengannya, bahkan membuat gue ingin selalu tertawa
atau sekedar tersenyum.
**
“Lo
suka dia? sumpah?”
Gue
mengangguk pasti. Tiwi, teman dekatnya menggeleng pelan. Merasa tidak percaya
atas apa yang baru gue katakan.
“Nggak
ada yang lain apa?” Tiwi berdecak, “Lo tau kan dia anaknya susah buka hati?”
“Gue
tau.” Kata gue menjawab pertanyaan Tiwi.
“Kalo
lo tau, kenapa masih berani?”
“Batu
karang aja bakal kekikis juga sama ombak. Masa dia gabisa?”
“Dengerin
gue,” Tiwi menarik nafasnya, “Dia bahkan lebih batu dari karang. Kalo lo mau
berjuang yaudah, sok. Cuma gue kasih tau, dia orangnya sesusah itu. Apalagi dia
tau kalo ada yang suka sama lo juga sampe sebegitunya. Dia bakal gaenak lah.
Dianggap makan temen bisa-bisa.”
Gue
ikut menghela nafas mendengar penuturan panjang Tiwi. Kepala gue berdenyut
pelan.
“Jadi
gue harus gimana?”
**
Gue
tahu. Dibalik sifat ramahnya. Dibalik senyum yang seperti di setting, dan
dibalik derai tawanya itu dia adalah sosok orang yang keras kepala. Dia adalah
rumah yang lo bisa masukkin dengan gampangnya. Tapi hanya sampai gerbang. Gabisa
sampai ruang tamu. Pintunya selalu tertutup. Gue tahu.
Dia mungkin terlihat bersahabat. Terlihat
menerima lo dengan tangan terbuka. Tapi diantara itu, dia memasang batas. Batas
dimana ketika lo berusaha melewatinya, dia akan berlaku sebaliknya. Dan dia akan
menutup tangannya untuk lo.
“Kenapa
sih lo selalu begitu?” Gue memberanikan diri bertanya padanya.
“Begitu
gimana?”
“Kalo
dideketin orang, kesannya menolak.”
Dia
tertawa, “Emang iya? Nggak ah perasaan.” Katanya mengelak.
Gue
tertawa sebentar, “Iya. Lo emang begitu kok.”
Dia
masih terus memandang kedepan dengan sisa-sisa tawanya. “Kenapa sih orang butuh
status?” Dia mulai bergumam, “Kenapa ga stay aja gitu tanpa status? Gabisa emang
yah?”
“Status
ada buat buktiin kepemilikan.” Kata gue menjawab. Gue melihat dia mengangguk
sebentar, lalu menyenderkan bahunya ke bangku.
“Kenapa
emang lo?”
Dia menggeleng
pelan, dan senyum itu mulai muncul lagi, “Gapapa. Hahaha. Baru-baru ini, ada yang
pergi dari gue. Katanya gue ga buka hati.”
“Makanya
belajar buka hati.” Gue menimpali. “Kalo ada orang yang ngetok pintu itu
dibuka. Jangan cuma didengerin dari dalam doang. Makanya tamunya pergi deh.”
Dia tertawa,
“Gue buka hati kok.” Katanya lalu berdehem, “Tamunya aja ga sabaran. Gue kan lagi
nyari kunci biar bisa buka pintunya.”
Dia
kemudian berdiri, membuat gue refleks ikut berdiri disampingnya. Ketika dia
akan melengkah, gue menahan tangannya. Membuat dia berbalik dan memandang gue
penuh tanya.
“Kenapa?”
“Lo
bilang lo lagi buka hati kan?” tanya gue sambil terus menatapnya, “Kalo gue
yang ngetuk pintunya, boleh?”
Dia tertawa,
“Hahaha. Apaan sih lo.”
“Gue
serius.” Perkataan gue membuat dia berhenti tertawa. Gue melanjutkan, “Kalo gue
yang berusaha buat ngetuk pintunya, apa lo bakal nyari kunci buat buka juga? Atau
lo bahkan ga berniat untuk buka pintunya?”
Dia mundur
satu langkah kebelakang. Membuat genggaman tangannya terputus dari gue. Memberi
jarak.
“Kalo
lo yang ngetuk—“ Dia menarik nafas, “Gue cuma bisa denger lo dari dalam dan ga
berniat nyari kunci buat lo bisa masuk ke dalam. Gue gabisa nyakitin hati
orang.”
Gue mengangguk.
Mengerti ke arah mana yang dia maksud.
“Lo
nggak mau nyakitin Stella?”
“Iya.”
Dia mengangguk. “Gue tahu seberapa dalam perasaannya buat lo.”
Gue menghela
nafas. Dia masih berdiri disana. Dengan setelan celana jeans hitam dan kaus
yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di depan gue sambil menundukkan
kepala.
“Maafin
gue,” katanya dengan suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak
kepalanya.
“Gapapa.” Balas gue.
Kini gue
melihat bahunya naik turun. Perlahan punggung tangannya mengusap cairan bening
yang lolos dari matanya.
“Gausah
nangis. Hahaha.” Gue tertawa pelan, kenapa dia yang nangis? Padahal harusnya
gue yang nangis karena udah ditolak abis-abisan bahkan sebelum nyoba.
“Gue
sedih.” Katanya. Berusaha terdengar biasa aja. Tetapi justru itu membuat gue
semakin nyesek. “Gue ga mau nyakitin hati Stella. Tapi sekarang gue malah
nyakitin hati lo juga.”
Gue mengangguk
mengerti, “Lo ga nyakitin hati gue kok.” Kata gue akhirnya menenangkan.
**
Pada
hari itu gue tahu kalo dia bahkan udah mengunci gerbangnya dan ga membiarkan gue untuk masuk
sedikitpun. Pada hari itu, kakinya, dan kaki gue memutuskan untuk berpisah di
jalan yang emang berbeda.
Pada
hari itu sebelum kami benar-benar terpisah, dia berkata sambil tersenyum.
“Coba sekali-kali liat siapa yang berdiri di
belakang lo ya, Yo. Karena dia mungkin
satu-satunya orang yang paling tulus yang mau menunggu lo sampai berbalik. Dan orang
itu pantes diperjuangin. Tapi orang itu, bukan gue.”
+++