Pernah denger quotes ini?
“Hidup itu kayak sekotak coklat, kita ga akan pernah tau apa yang kita dapat.”
Banyak
analogi tentang hidup. Tapi gue paling setuju dengan ungkapan sekotak coklat. Kenapa?
Karena dalam sekotak coklat ada berbagai rasa yang secara ga langsung
ngewakilin semua perasaan yang ada di manusia. Kita juga ga bakal tau rasanya
sampai kita mencobanya sendiri. Bisa manis, pahit, isi kacang, atau isi kismis,
bisa coklat susu atau malah kita bakal dapet dark chocolate.
((Tiba-tiba pengen coklat))
Kita
juga ga bakal bisa menebak apa yang terjadi sama hidup kita besok. Terkadang,
hidup-pun seakan mempermainkan kita. Seakan-akan
semesta mendukung kita, nggak taunya menikung. Mau marah, marah kesiapa? Ke Tuhan?
Tapi takut dikutuk. Mau marah ke semesta juga ga mungkin. Yakali kita marahin
semesta dengan cara apa? Injek-injek tanah? Ntar disangka lagi mainan injek-injek bumi yang injek jaga..
Serba salah nggak? Pastinya.
Sebenernya
ga ada niat bahas kehidupan. Tapi bahas apa yang ada di kehidupan.
Masih tentang
‘orang-orang-yang-ada-di-kehidupan-kita’. Sebenernya sadar nggak sih, kalo
kehidupan kita ataupun orang lain itu tempat singgah? Iya, singgah. Ntah kita
yang singgah di kehidupan dia ataupun dia yang singgah di kehidupan kita.
Fase inipun
akan berganti setiap waktu. Ada fase seneng-senengnya, fase bosen-bosennya,
fase kembali seneng-senengnya, fase menghilang, lalu terakhir fase muncul lagi.
Yang paling
males adalah dua fase terakhir. Fase menghilang lalu muncul lagi.
Semua orang
pasti pernah punya seseorang yang pengen banget dilupain. Berjuang bertahun-tahun
buat lupa, buat nggak inget, buat nggak mengenang lagi, buat ikhlas dan
menerima sampai akhirnya bisa menerima kenyataan dan ‘baik-baik aja’.
Perjuangan
itu bakal sia-sia kalo orang yang udah diperjuangin buat dilupain tiba-tiba
muncul lagi. Dateng lagi. Nyapa lagi. Seolah-olah gak ada apa-apa. Kalo udah
begitu ya maunya marah-marah. Mau maki-maki. Iya nggak?
Dan ah, itu gak akan bisa sama lagi kayak dulu.
Seberapa-pun
orang itu berjanji akan baik-baik aja ketika dia akan pergi, like, “Kita masih
bisa kok kayak gini, kita masih bisa begini kan? Atau lo bisa hubungin gue
kapan aja.” Itu gak akan berpengaruh bagi gue.
Karena menurut
gue, ketika dia berkata gitu, artinya dia gak akan pernah sama lagi dengan ‘dia’
yang dulu kita kenal. Ada sekat. Ada gelembung yang ga bisa kita pecahin antara
kita sama dia. Dan itu kalimat basa-basi-yang-ampun gue benci. Dan karena kalimat
itu kita secara ga langsung bakal jaga jarak juga ngga sih? Bakal biasa lagi
nggak? Nggak kan. Jadi dimana ‘masih-bisa-begini-kan’-nya?
Gak apa-apa . Semua orang pergi. Karena Cuma dia yang tepat yang kembali-@daraprayoga_
Iya. Cuma
dia yang tepat yang kembali. Dia yang telah lelah mencari. Dia yang akhirnya
menyadari bahwa kamulah yang menjadi
tujuan akhirnya. Dia yang telah berkelana hanya untuk membuktikan kamu adalah
rumahnya. Tempat ternyaman yang pernah dia kunjungi setelah lama mencari.
Jadi,
tetaplah menunggu untuk ‘dia’ yang akan kembali. Dia yang kamu anggap tepat. The one.
*kuatin diri sendiri (‘-‘)9*
*ketawa*
*ketawa*
*tiba-tiba diem*
Anyway,
tahun baru enaknya bikin catatan perjalanan singkat selama tahun 2014 kali ya?
(Iya kalo niat). Sampai bertemu 2015 dengan cerita baru dan orang-orang yang baru lagi!