Konon katanya, ketika hujan akan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh
mereka yang rindu. Tapi mungkin lebih
tepatnya, itu bagaikan mesin waktu yang membawa kita kembali ke masa lalu.
**
“Yah,
hujan lagi.”
Aku
mendesis lalu refleks mengangkat tanganku menghindar i tetesan hujan. Dengan
langkah yang dipercepat, aku berjalan menuju halte terdekat.
Kosong.
Haltenya, kosong. Begitu sampai aku langsung menepi. Duduk pada bangku yang
disediakan, dan menatap kosong pada tetesan hujan yang semakin deras. Aku menghembuskan
nafas yang segera menjadi asap putih begitu keluar dari mulutku. Seperti di
musim salju!
Aku
merapatkan cardigan warna peach lembut yang membalut seragamku. Selanjutnya,
yang kudengar, hanya hembusan nafasku yang semakin berat. Aku menyadarinya. Ini selalu terjadi ketika
hujan turun.
Bagiku,
hujan selalu membawaku melintasi masa lalu. Hujan selalu mengingatkanku tentang
dia. Dia yang sangat menyukai hujan. Dia yang suka mencium aroma sebelum hujan.
Tunggu, apa sebutannya? Oh iya! Petrichor.
Kakiku
kutarik ke dalam. Menghindari tetesan hujan yang akan mengotori sepatuku.
++
“Gue ga suka hujan!” Aku berkata
sambil menatap laki-laki di depanku. Seragamnya sudah basah semua. Masih dengan
senyum yang mengembang, dia bertanya dengan sedikit berteriak.
“Kenapaa!?”
“Kalo kena hujan, gue suka sakit
flu. Gue ga suka. Err!”
“Dasar manja!” dia mencibir.
Lalu segera berlari menuju lapangan bola dimana semua anak laki-laki berkumpul
dan menunggunya. Aku mengamati punggungnya hingga menjauh. Lalu kembali duduk dengan tenang di
bangku yang tersedia sepanjang koridor. Kembali membaca novel yang kupinjam
dari perpustakaan dua hari lalu.
“Wil!”
Aku mendongak, lalu melihatnya
melambaikan tangan dari tengah lapangan. Menatapnya dengan
pandangan-apaan-sih-lo.
Dia tersenyum lagi, “Kapan-kapan
lo harus nyobain main di tengah hujan!!” dia berteriak lagi lalu mendorong Resa
yang sedang lewat dan menghalangi pandangannya.
“NO THANKS!!” aku balas
berteriak.
++
Aku
mengguncang-guncang kakiku. Suasana semakin dingin. Aku merapatkan cardiganku
lagi. Mengingatnya, membuatku merasakan dua sensasi bersamaan.
Menyenangkan...sekaligus menyakitkan.
Ah
sesak juga, hatiku menambahkan. Aku hanya tersenyum kecil ketika mendengar
suara-suara itu memenuhi pikiranku. Aku
kembali melihat hujan. Kenapa kenangan tentangnya selalu bertepatan saat hari
sedang hujan, sih?
++
“Mendung lagi.” Dia bergumam lalu menoleh
menatapku, “Lo bawa payung?”
Aku menggeleng menjawab
pertanyaannya. Lalu mengalihkan pandangan pada langit yang semakin menggelap. Ah,
iya. Ini kan musim hujan. Kenapa aku bisa lupa bawa payung sih?
“Kalo nanti ujan gimana?”
Kini giliran aku yang
menatapnya, “Ya neduh lah.” Jawabku santai.
“Bukannya lo les hari ini?” dia
bertanya, membuatku menepuk kening karena lupa. Aku menatap jam tanganku dan
menyadari hari sudah lumayan sore. Kalau tidak pulang sekarang, kemungkinan aku akan
terlambat les.
“Pulang sekarang gimana?”
tanyaku meminta pendapat, “kalo nggak gue bakal telat.”
Dia mengangguk lalu mulai
melangkah. Aku mengikutinya dari belakang. Menatap punggungnya seperti ini
memberiku kenyamanan. Dia, tanpa diminta selalu membantuku. Mengulurkan tangannya
setiap waktu. Dia, seperti menjagaku dengan seluruh kemampuannya. Aku tersenyum
lalu mulai mengucap syukur dalam hati. Berterima kasih karena telah
dipertemukan orang seperti dia.
Tes..
Aku mendongak keatas dan
mendapati tetes tetes air itu mulai turun membasahi wajahku. Panik, aku menarik
dia untuk segera berlari.
“Heh! Cepet dong jalannya! Ujan nih!!”
Aku berteriak padanya, sementara dia malah asik menengadahkan wajahnya keatas,
membiarkan hujan jatuh.
“Lo kenapa sih takut banget ama
ujan!?” dia menghampiriku lalu mulai menarik tas yang menutupi kepalaku, “Coba
rasain!”
Tadinya aku berteriak dan mulai
panik ketika baju seragamku mulai basah. Tapi lama-kelamaan, hey! Ini tidak
terlalu buruk yah.aku mulai merasakan sensasi ketika tetes-tetes air itu
semakin deras jatuh di tubuhku. Semacam kesenangan yang hanya bisa aku nikmati
saat ini.
“Ga buruk kan?” dia bertanya
lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum.
+++
Mengingat
saat itu membuat aku mau tak mau tersenyum di saat perasaan sesak itu semakin kuat
menghantam hatiku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menghirup aroma petrichor dari tanah disekitarku.
Aku mulai
berdiri, dan perlahan berjalan keluar dar halte menerobos hujan. Kali ini aku
tidak berlari. Aku berdiri di tengah hujan tepat saat kenangan paling
menyakitkan itu hadir memenuhi kepalaku. Saat dia tiba-tiba menghilang. Saat
aku mengikuti jejaknya dan tak pernah sampai. Saat semua itu membuatku menyerah
dengan keadaan.
+++
Seminggu setelahnya, dia tak pernah masuk
sekolah. Jejaknya hilang. Benar-benar hilang. Aku bahkan tidak mengerti mencari
kemana lagi. Saat akhirnya aku menemukan kabar tentangnya.
Aku berlari di lorong rumah
sakit. Mencari ruang dimana dia berada. Begitu kutemukan, aku langsung membuka
pintunya. Dan melihatnya tengah berbaring di ranjang. Wajahnya pucat, dengan
beberapa selang menempel pada tubuhnya.
Aku melangkah mendekat, lalu
perlahan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Dia membuka mata, lalu sedikit
terkejut melihatku ada disana.
“Wilda,” panggilnya lemah, “Kok
lo disini?”
“Kenapa lo ga bilang?” aku
bertanya parau. Antara ingin marah, tapi juga khawatir.
Dia tersenyum tipis, “Gue ga mau
nyusahin orang.”
“Bahkan dengan gue lo gamau
kasih kabar?”
Dia mengangguk, “Lo adalah
satu-satunya orang yang gamau gue kasih tau tentang keadaan gue.”
Aku menatapnya marah, “Kenapa!?”
Dia tersenyum lagi. Tapi memilih
bungkam. Sekilas, tatapannya beralih keluar jendela, “Sebentar lagi hujan.”
Aku mengernyit, lalu tatapannya
beralih padaku. “Lo ga percaya?”tanyanya.
“Gue bisa mencium bau petrichor.
Akhirnya, gue bisa tenang.”
Aku mengernyit lagi, lalu
menepuk pelan tangannya, “Cepet sembuh, Van.” Aku nyengir, “biar kita bisa main
hujan lagi.”
Revan tersenyum, “Lo nanti main
hujannya sama yang lain.”
“Kok gitu?”
Revan menatapku, “Iya. Nanti lo
cari yang kayak gue yah. Tapi jangan sampe ada yang bisa gantiin gue.”
Aku tertawa, “Ga ada yang bisa
gantiin lo disini.” Aku menunjuk hatiku, lalu tertawa lagi.
“Bagus lah kalo ga ada yang bisa
gantiin gue di situ.” Dia tertawa kemudian tiba-tiba terdiam.
Perlahan langit mulai menggelap.
Sepertinya hujan akan turun persis seperti apa yang dikatan Revan.
“Jaga diri baik-baik ya, Wil. Kayaknya
gue gabisa nemenin lo lagi.”
“Iya. Gue bisa jaga diri
baik-baik.”
“Gue ngantuk. Boleh tidur?”
Aku mengangguk lalu mundur
perlahan. Melihat Revan terlelap, membuatku takut. Seperti ada sesuatu yang
pergi.
Iseng, aku mulai mencolek-colek
tangannya. Tapi Revan tetap diam. Panik, aku mulai mencubit tangannya. Biasanya
Revan akan berlari begitu aku mencubitnya. Tapi sekarang Revan bahkan sama
sekali tidak bergerak. Air mataku mulai mengalir, aku memencet tombol dan
berteriak memanggil dokter sekeras mungkin. Aku mengenggam tangannya. Lalu mulai
menangis tidak karuan.
“Van!” aku memanggilnya lirih, “Van!
Bangun. Van, sekarang hujan. Van, ayo kita main, Van bangun,Van!!”
“Van, sekarang gue udah ga takut
sam hujan, Van tolong bangun. Van, kok lo tega?”
Aku meracau. Putus asa.
+++
Mengingatnya
lagi membuat perasaan itu kembali muncul. Aku menghapus air mata yang terjatuh
bersama tetesan hujan. Andai waktu bisa diputar, andai pintu doraemon
benar-benar nyata. Aku pasti akan
menyukai hujan lebih cepat. Lebih cepat sebelum Revan mengenalkannya padaku. Lebih
cepat daripada itu. Agar aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu. Menciptakan kenangan
yang ahitnya hanya bisa dikenang untuk diriku sendiri.