Sabtu, 04 Oktober 2014

I'm Only Human [Story]

But I’m only Human
And I bleed when I fall down
But I’m only Human
And I crash and I break down.
---

                Semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta diam-diam.

                Jatuh cinta diam-diam? Ah, kata-kata itu sudah melekat di kamus hidupku. Aku sering melakukannya. Menyukai seseorang secara diam-diam. Menyenangkan, awalnya. Tapi, menyakitkan, ujungnya.

                Ketika kamu jatuh cinta diam-diam, ada suatu perasaan khusus yang kamu rasakan. Tadinya juga begitu. Awalnya, aku senang memandang Dirga dari jauh. Mengamati senyumnya, merekam tawanya, menyimpan wajah gundah dan diamnya. Aku senang ketika tak sengaja berpapasan dengannya, saat mata kami beradu, dan semuanya terasa kabur. Meski disaat yang sama, rasanya bibirku terasa terkunci. Tak bisa bergerak, bahkan kaku.  Yang niatnya ingin mengucap ‘Hai’ atau sekedar senyuman, tapi malah berakhir dengan wajah beku dan mata yang tertancap padanya tanpa berkedip. Iya, aku tahu itu menyeramkan.

                Awalnya,  semua masih menyenangkan. Sungguh! Rasa berdebar saat tak sengaja ketahuan ketika melihatnya adalah salah satu candu. Aku juga begitu, rasa berdebar itu selalu sukses membuatku jantungku seperti pindah dari tempatnya. Entah jatuh ke dasar, atau seakan terbang.

                 Iya, itu awalnya. Awal yang manis. Awal yang terkesan lucu. Awal yang tidak kamu tahu akan berakhir dengan kepahitan yang luar biasa dalam.

                Lama-kelamaan perasaan itu memudar. Perasaan yang dulu aku anggap menyenangkan itu menghilang. Pada faktanya, menjadi seorang  yang mengaggumi orang lain diam-diam hanya akan menyakiti perasaan kita sendiri juga secara diam-diam.... dan perlahan.

                Setidaknya begitu yang aku rasakan. Ketika Dirga perlahan mendekati orang lain, mendengarnya saja sudah membuat jantungku serasa dipukul godam. Belum lagi, adegan-adegan yang tak sengaja tertangkap oleh lensa mataku. Sepele memang. Seperti saat tangannya digandeng dengan paksa oleh salah satu teman perempuan di kelasnya. Aku tahu, itu tak sengaja. Wajah mereka juga tidak bahagia—bahkan cenderung terburu-buru. Tapi, Hey! Aku cemburu.

                Aku bahkan ingin menerjang mereka, menyelip diantara mereka, lalu melepas genggaman itu dengan paksa dan berteriak, “Eh! Ini cowok udah gue booking di masa depan. Dilarang pegang-pegang, Please!”
Tapi sepertinya tidak mungkin...

+++

                “DIRGA!”

                Aku seketika tersentak dari keasyikanku mengunyah sepotong siomay besar saat mendengar namanya bergema di kantin yang kebetulan sedang dalam keadaan sepi. Mataku langsung berputar ke segala arah, mencari sosoknya. Lalu, hampir tersedak ketika menemukan tubuh tegapnya di pintu salah satu warung di kantin. Ketika akhirnya mata kami bertemu untuk kesekian kalinya, senyum itu tak juga nampak. Wajah itu seakan kaku, lalu sedetik kemudian, aku melihat Dirga membuang pandangannya.

                Dia tak tahu, ketika itu terjadi, jauh di dalam sana sebuah hati benar-benar menjadi hancur detik itu juga.

+++

                “Lo itu bego tau ga sih, Han. Bego, munafik lagi.”

                “Han, dengerin gue, apa gunanya sih lo suka sama Dirga tapi gak diungkapin?”

                “Hidup lo itu so pathetic banget sih Han. Bisanya Cuma liat punggung doang!”

                Sederet omelan Gina yang sering kudengar beberapa hari lalu kini tak terdengar. Yang ada sekarang, hanyalah Gina yang dengan lembut menepuk-nepuk punggungku.  Lalu sepertiku, menarik nafas dalam dan panjang. Gina yang sekarang, adalah Gina yang sudah menyiapkan sekotak tisu besar untuk berjaga-jaga jika aku menangis hebat. Padahal, aku meneteskan air mata saja belum.

                Begitu mendengar dan melihat sosok Dirga di kantin, nafsu makanku hilang. Lalu dengan cepat aku menemui  Gina dengan suara serak menahan tangis. Jujur saja, aku memang ingin menangis saat itu. Sangat ingin.

                Ketika melihatnya di kantin tadi, rasanya kejadian itu terulang. Kejadian dimana aku menganggapnya sebuah mimpi buruk.  Kejadian dimana aku menyesal berada di situasi seperti itu. Kejadian dimana aku merasa, aku memang orang paling bodoh di dunia.

Kenapa?

                Karena aku berani memimpikan sesuatu dengan dia yang pernah memimpikanku saja tidak. Karena aku berani menaruh segala harap pada dia yang melihatku saja tidak. Iya, sebodoh itu.

                “Udah ya, Han. Lo ga bisa nyimpulin semuanya cepet-cepet gitu.” Gina menepuk punggungku. Berusaha memberi pengertian dari sudut pandangnya.

                “Gin..” aku menarik nafas, “Apa yang salah dari kesimpulan gue?” tanyaku balik lalu memperhatikan raut wajahnya.

                “Apa gue salah nyimpulin kalo dia lebih respect ke Sarah? Apa gue salah dia lebih melihat Sarah daripada gue? Gin.. jujur aja. Lo mengakuinya kan? Ngakuin kalo Dirga lebih suka ke Sarah?”

                Gina diam. Dari raut wajahnya, aku bisa membaca bahwa dia setuju atas semua yang aku katakan. Aku menarik nafas lagi. Kali ini lebih panjang. Sambil berusaha meredam air mataku agar tidak tumpah.

                “Kenapa kejadian lagi sih, Gin?” Aku berkata pelan. Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kenapa orang yang gue suka selalu sukanya sama temen gue?” Aku menutup muka. Berusaha menutupi air mataku yang perlahan mengalir.

                Gina kembali menepuk-nepuk punggungku simpati, “Kalo mau nangis, nangis aja.”

                Aku menggeleng, lalu mengangkat wajahku sambil menghapus air mata yang akan jatuh. “Gabisa, Gin. Gue harus baik-baik aja.”

                “Gue harus bisa baik-baik aja sekalipun hati gue sakitnya luar biasa. Gue harus bisa baik-baik aja bahkan ketika Dirga lebih memilih basa-basi sama Sarah daripada sama gue. Padahal disitu ada gue loh, Gin. Hahaha..” aku memaksakan diri untuk tertawa sekalipun air mataku terus mengalir.

                “Disitu.. ada.. gue.. Gin..” Aku kembali menutup muka ketika dirasa air mataku lebih banyak dari sebelumnya. “Tapi.. dia.. lebih milih nyapa Sarah. Kenapa dia ga nyapa kita berdua aja? Emang gue segitu ga keliatannya?” Lanjutku.

                Gina yang daritadi hanya menepuk punggungku kini mulai memelukku.

                “Jangan dipeluk, nanti gue makin nangis kejer. Ga ada yang tanggung jawab ini. Haha” aku mencoba bercanda.

                “Jangan ketawa lagi, Han. Gue tau lo lagi nangis di dalem. Jangan pura-pura tegar.”

                Aku mengangguk, lalu kemudian balas memeluk Gina. Menangis. Menuangkan seluruh perasaan kecewaku disana. Perasaan yang aku pendam. Perasaan yang tidak tersampaikan bahkan dalam bentuk kata.

                “Sempet nyesel kenapa gue yang harus peka. Tapi kayaknya Sarah ga peka-peka. Sedih lah kenapa harus lo yang ngerti kode dari orang yang lo suka tapi kode itu bukan buat lo.”

                “Gue.. gabisa berbuat apa-apa kan, Gin. Lagian, Sarah lebih baik dari gue. Ya wajar sih Dirga lebih suka dia yang kalem daripada gue yang pecicilan. Gin, dunia gue masih baik-baik aja kan?”

                Gina mengangguk, “Dunia lo masih baik-baik aja.”

                “Sekalipun dunia gue hancur. Sekalipun dunia seakan menikung gue dari jalan takdirnya. Gue akan menganggap dunia gue baik-baik aja. Walau gue tau, kini dunia gue kehilangan porosnya.” Kataku sambil terisak, “Dan gue, akan berhenti melakukan hal bodoh yang berkaitan dengan Dirga.”
 I

0 komentar:

Posting Komentar