But I’m only Human
And I bleed when I
fall down
But I’m only Human
And I crash and I
break down.
---
Semua
orang pasti pernah merasakan jatuh cinta diam-diam.
Jatuh
cinta diam-diam? Ah, kata-kata itu sudah melekat di kamus hidupku. Aku sering melakukannya.
Menyukai seseorang secara diam-diam. Menyenangkan, awalnya. Tapi, menyakitkan,
ujungnya.
Ketika
kamu jatuh cinta diam-diam, ada suatu perasaan khusus yang kamu rasakan.
Tadinya juga begitu. Awalnya, aku senang memandang Dirga dari jauh. Mengamati
senyumnya, merekam tawanya, menyimpan wajah gundah dan diamnya. Aku senang
ketika tak sengaja berpapasan dengannya, saat mata kami beradu, dan semuanya
terasa kabur. Meski disaat yang sama, rasanya bibirku terasa terkunci. Tak bisa
bergerak, bahkan kaku. Yang niatnya
ingin mengucap ‘Hai’ atau sekedar senyuman, tapi malah berakhir dengan wajah
beku dan mata yang tertancap padanya tanpa berkedip. Iya, aku tahu itu
menyeramkan.
Awalnya,
semua masih menyenangkan. Sungguh! Rasa
berdebar saat tak sengaja ketahuan ketika melihatnya adalah salah satu candu.
Aku juga begitu, rasa berdebar itu selalu sukses membuatku jantungku seperti
pindah dari tempatnya. Entah jatuh ke dasar, atau seakan terbang.
Iya, itu awalnya. Awal yang manis. Awal yang
terkesan lucu. Awal yang tidak kamu tahu akan berakhir dengan kepahitan yang
luar biasa dalam.
Lama-kelamaan
perasaan itu memudar. Perasaan yang dulu aku anggap menyenangkan itu
menghilang. Pada faktanya, menjadi seorang
yang mengaggumi orang lain diam-diam hanya akan menyakiti perasaan kita
sendiri juga secara diam-diam.... dan perlahan.
Setidaknya
begitu yang aku rasakan. Ketika Dirga perlahan mendekati orang lain,
mendengarnya saja sudah membuat jantungku serasa dipukul godam. Belum lagi,
adegan-adegan yang tak sengaja tertangkap oleh lensa mataku. Sepele memang.
Seperti saat tangannya digandeng dengan paksa oleh salah satu teman perempuan
di kelasnya. Aku tahu, itu tak sengaja. Wajah mereka juga tidak bahagia—bahkan
cenderung terburu-buru. Tapi, Hey! Aku cemburu.
Aku
bahkan ingin menerjang mereka, menyelip diantara mereka, lalu melepas genggaman
itu dengan paksa dan berteriak, “Eh! Ini cowok udah gue booking di masa depan.
Dilarang pegang-pegang, Please!”
Tapi sepertinya tidak mungkin...
+++
“DIRGA!”
Aku
seketika tersentak dari keasyikanku mengunyah sepotong siomay besar saat mendengar
namanya bergema di kantin yang kebetulan sedang dalam keadaan sepi. Mataku
langsung berputar ke segala arah, mencari sosoknya. Lalu, hampir tersedak
ketika menemukan tubuh tegapnya di pintu salah satu warung di kantin. Ketika
akhirnya mata kami bertemu untuk kesekian kalinya, senyum itu tak juga nampak.
Wajah itu seakan kaku, lalu sedetik kemudian, aku melihat Dirga membuang
pandangannya.
Dia tak
tahu, ketika itu terjadi, jauh di dalam sana sebuah hati benar-benar menjadi
hancur detik itu juga.
+++
“Lo itu
bego tau ga sih, Han. Bego, munafik lagi.”
“Han,
dengerin gue, apa gunanya sih lo suka sama Dirga tapi gak diungkapin?”
“Hidup
lo itu so pathetic banget sih Han.
Bisanya Cuma liat punggung doang!”
Sederet
omelan Gina yang sering kudengar beberapa hari lalu kini tak terdengar. Yang
ada sekarang, hanyalah Gina yang dengan lembut menepuk-nepuk punggungku. Lalu sepertiku, menarik nafas dalam dan panjang.
Gina yang sekarang, adalah Gina yang sudah menyiapkan sekotak tisu besar untuk
berjaga-jaga jika aku menangis hebat. Padahal, aku meneteskan air mata saja
belum.
Begitu
mendengar dan melihat sosok Dirga di kantin, nafsu makanku hilang. Lalu dengan
cepat aku menemui Gina dengan suara
serak menahan tangis. Jujur saja, aku memang ingin menangis saat itu. Sangat
ingin.
Ketika
melihatnya di kantin tadi, rasanya kejadian itu terulang. Kejadian dimana aku
menganggapnya sebuah mimpi buruk.
Kejadian dimana aku menyesal berada di situasi seperti itu. Kejadian
dimana aku merasa, aku memang orang paling bodoh di dunia.
Kenapa?
Karena aku
berani memimpikan sesuatu dengan dia yang pernah memimpikanku saja tidak.
Karena aku berani menaruh segala harap pada dia yang melihatku saja tidak. Iya,
sebodoh itu.
“Udah
ya, Han. Lo ga bisa nyimpulin semuanya cepet-cepet gitu.” Gina menepuk
punggungku. Berusaha memberi pengertian dari sudut pandangnya.
“Gin..”
aku menarik nafas, “Apa yang salah dari kesimpulan gue?” tanyaku balik lalu
memperhatikan raut wajahnya.
“Apa
gue salah nyimpulin kalo dia lebih respect ke Sarah? Apa gue salah dia lebih
melihat Sarah daripada gue? Gin.. jujur aja. Lo mengakuinya kan? Ngakuin kalo
Dirga lebih suka ke Sarah?”
Gina diam.
Dari raut wajahnya, aku bisa membaca bahwa dia setuju atas semua yang aku
katakan. Aku menarik nafas lagi. Kali ini lebih panjang. Sambil berusaha
meredam air mataku agar tidak tumpah.
“Kenapa
kejadian lagi sih, Gin?” Aku berkata pelan. Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kenapa
orang yang gue suka selalu sukanya sama temen gue?” Aku menutup muka. Berusaha menutupi
air mataku yang perlahan mengalir.
Gina
kembali menepuk-nepuk punggungku simpati, “Kalo mau nangis, nangis aja.”
Aku menggeleng,
lalu mengangkat wajahku sambil menghapus air mata yang akan jatuh. “Gabisa,
Gin. Gue harus baik-baik aja.”
“Gue
harus bisa baik-baik aja sekalipun hati gue sakitnya luar biasa. Gue harus bisa
baik-baik aja bahkan ketika Dirga lebih memilih basa-basi sama Sarah daripada
sama gue. Padahal disitu ada gue loh, Gin. Hahaha..” aku memaksakan diri untuk
tertawa sekalipun air mataku terus mengalir.
“Disitu..
ada.. gue.. Gin..” Aku kembali menutup muka ketika dirasa air mataku lebih
banyak dari sebelumnya. “Tapi.. dia.. lebih milih nyapa Sarah. Kenapa dia ga
nyapa kita berdua aja? Emang gue segitu ga
keliatannya?” Lanjutku.
Gina yang
daritadi hanya menepuk punggungku kini mulai memelukku.
“Jangan
dipeluk, nanti gue makin nangis kejer. Ga ada yang tanggung jawab ini. Haha”
aku mencoba bercanda.
“Jangan
ketawa lagi, Han. Gue tau lo lagi nangis di dalem. Jangan pura-pura tegar.”
Aku mengangguk,
lalu kemudian balas memeluk Gina. Menangis. Menuangkan seluruh perasaan
kecewaku disana. Perasaan yang aku pendam. Perasaan yang tidak tersampaikan
bahkan dalam bentuk kata.
“Sempet
nyesel kenapa gue yang harus peka. Tapi kayaknya Sarah ga peka-peka. Sedih lah
kenapa harus lo yang ngerti kode dari orang yang lo suka tapi kode itu bukan
buat lo.”
“Gue..
gabisa berbuat apa-apa kan, Gin. Lagian, Sarah lebih baik dari gue. Ya wajar
sih Dirga lebih suka dia yang kalem daripada gue yang pecicilan. Gin, dunia gue
masih baik-baik aja kan?”
Gina mengangguk,
“Dunia lo masih baik-baik aja.”
“Sekalipun
dunia gue hancur. Sekalipun dunia seakan menikung gue dari jalan takdirnya. Gue
akan menganggap dunia gue baik-baik aja. Walau gue tau, kini dunia gue
kehilangan porosnya.” Kataku sambil terisak, “Dan gue, akan berhenti melakukan
hal bodoh yang berkaitan dengan Dirga.”
0 komentar:
Posting Komentar