Jumat, 21 Agustus 2015

Abu-Abu [Story]

Pergi tak selamanya sedih, karena bertahan tak selamanya indah.
--Anonymous

            Dia bagai langit saat menjelang hujan turun. Kelabu. Abu-abu. Tidak jelas dan tidak terdefinisi.

            Tidak tahu sejak kapan aku terus memperhatikan mata coklat itu setiap ia lewat. Menghafal gerakannya yang berjalan perlahan di tengah koridor yang sepi. Atau bahkan menghitung gerak kakinya berjalan hingga tak terlihat lagi dalam pandanganku.

            Tidak tahu sejak kapan, hujan selalu membawa satu memori tentangnya. Bau petrichor yang turun, warna langit yang kelabu, semua seperti dirinya. Abu-abu, tapi menenangkan.

            Dia bukan seseorang yang spesial. Bukan seseorang yang populer. Tapi, di dekatnya, semua orang bisa merasa nyaman. Senyaman saat lari di tengah hujan deras tanpa alas kaki.

            Entah sejak kapan tepatnya, namanya mulai muncul dalam setiap doa yang aku panjatkan pada Dzat yang menciptakan alam semesta. Namanya mulai kuselipkan setiap hari. Entah apa penyebabnya. Entah bagaimana caranya, dia berhasil menempati sebagian hati yang ku pegang erat-erat.

            Tapi entah bagaimana caranya lagi, dia adalah satu-satunya seseorang yang bisa membuat lubang di hatiku makin membesar. Hanya dengan mengingatnya, rasa sesak itu muncul dengan cepatnya. Hanya dia yang bisa membuat hatiku serasa jatuh ke dasar. Tidak bisa diselamatkan.

            “Dia udah pergi yah?”

            Aku mengangguk lalu menarik nafas dalam. “Iya.”

            “Terus perasaan lo?”

            Aku menunduk, memainkan daun kering ya terjatuh di kaki, “Ya lewat.” Aku menatap Sean, tersenyum. “Lewat aja kayak angin.”

            “Nzi.”

            “Gue gapapa.” Aku mengibaskan tangan. Berusaha terlihat baik-baik saja. “Cuma keinget sedikit kok.”

            “Kenapa ga lo coba ngomong?”

            “Beberapa orang dengan berani menyatakan, Sean. Beberapa lagi nggak. Hanya mampu dipendam tanpa berani bilang. Sampai orang itu pergi. Tetap dipendam. Gue tipe yang kedua.”

            Aku menarik nafas, “Lagian kan gue ga serius kali.”

            “Ga serius?” Sean mendelik, “Ga serius sampe nangis gitu?”

            Aku tertawa, “Waktu itu gue kelilipan kayaknya.”

            “Serius deh, Nzi.” Sean memutar matanya, “Gue tahu lo seserius itu sama perasaan lo ke anak itu. Jangan coba-coba bohong.”

            Aku berhenti tertawa. Lalu menenguk ludah.

            “Iya. Gue seserius itu kok.” Aku mengayunkan kaki, “Tapi ga seberani itu juga. Makanya dia lepas. Makanya perasaan gue lewat kayak angin. Makanya dia tetap gue anggap abu-abu.”

            “Kadang lo memang harus menempatkan dia di tempat yang tepat. Dia hanya cocok di tempat abu-abu bagi gue, Se. Bukan gamau berusaha. Bukan ga mau nyoba. Tapi karena dia memang cocok disana saat ini. Tanpa perlu gue utak-atik. Karena, ketika gue memutuskan untuk maju. Dia akan jelas.” Aku mengangkat kepala, “Tempatnya akan di hitam. Dan itu berarti gue harus berusaha lagi buat ngelupain dia setengah mati. Dia akan pergi dari gue, atau gue yang berusaha menghilangkan diri dari dia.”

            “Sama aja nyerah?”

            Aku menggeleng, “Gue cuma pergi. Ga nyerah. Gue pergi masih dengan membawa perasaan gue yang utuh. Karena ga ada kemungkinan untuk gue bertahan buat dia sekarang. Dia jauh, ga tergapai.” Aku tertawa, “Tapi gue janji, ketika gue ketemu dia lagi. Ketika jalan kami bersinggungan sekali lagi tanpa sengaja. Gue pasti bilang.”

            “Dia berhak tahu perasaan gue.”


            Aku tersenyum, “Dan gue berhak tau jawaban dia. Untuk memperjelas posisinya. Bukan di abu-abu lagi. Tapi di hitam atau di putih. Untuk terus di pertahankan, atau lebih baik dilupakan.”

Sean memutar matanya, “Apa bedanya dengan lo menjadikan dia jelas saat ini dengan nanti?”

            Aku menarik nafas, “Seenggaknya hati gue lebih siap kalo nanti, Se. Emang lo tau apa yang terjadi nanti? Kali aja pas nanti jalan gue bersinggungan lagi, gue udah ama yang lain kan?”

            Aku mengedipkan mata, “You never know what happen in the future.”

0 komentar:

Posting Komentar