Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 18 Juli 2014

Sad Beautiful Tragic




Aku melihat bayangmu menjauh dalam gelap. Berjalan di tengah kesepian yang semakin pekat. Langkahmu dengan pasti meninggalkanku. Sendiri. Sunyi.


Angin berhembus menerbangkan harapan. Harapanku terbang. Menjauh dan hilang seiring jejak langkah yang terhapus oleh hujan. Harapan yang aku simpan dalam diam. Harapan yang perlahan kutimbun untukmu. Harapan yang membuatku bertahan.
                

Tapi kamu hanya tersenyum dari kejauhan. Enggan mendekat lagi. Begitupun aku. Langkah kakiku kaku. Tak bisa berjalan. Seperti di paku, aku hanya bisa menatapmu balik. Memohon agar kamu menahan langkah kaki yang akan membuatmu jauh dariku. Tapi tidak, kamu tetap berjalan.

                Lalu aku.. terdiam. Berteman sunyi, aku diam. Ntah apa yang kufikirkan, tapi kurasa hidup tak lagi menyenangkan. Tak lagi berwarna. Dan tak lagi.. bermakna.

                Hai kamu. Bolehkah aku meminta? Permintaan sederhana. Sesederhana ketika kamu tertawa untuk sesuatu yang lucu. Sesederhana api yang membakar kayu dan merubahnya menjadi abu. Iya. Sesederhana itu.

                Maukah kau bertahan untukku?

                Maukah kau mempertahankanku?

                Maukah kau melangkah bersamaku?

                Maukah.. kini kau yang menungguku?

                Menunggu ya, tak apa jika kamu tak mau. Aku tahu itu berat. Tapi.. aku melakukannya. Aku menunggumu. Aku menunggu punggungmu berbalik dengan sabar. Aku menunggumu menyadari keberadaanku dengan sejuta harap disetiap harinya. Aku menunggumu untuk sekedar menoleh ke arahku kemudian tersenyum. Aku menunggumu untuk sekedar memanggil namaku.

                Dan ketika semua itu terjadi, kau tahu betapa bahagianya aku? Saat aku tahu kau mulai menoleh ke arahku dan memanggil namaku. Saat kau mulai tersenyum. Saat kau mulai merubah duniaku menjadi lebih baik.

                Ini indah.. tapi juga menyakitkan. Pada faktanya, aku tahu kau tak berbalik. Hanya menoleh. Hanya melihat sekilas seseorang yang berdiri dengan sejuta perasaan di belakangmu. Iya. Itu aku.

                Kau hanya memastikan aku baik-baik saja dengan semua perasaan ini kan? Kau mau tahu? Aku-tidak-baik-baik-saja.


                Ini indah.. tapi menyakitkan. Saat kulihat langkahmu kembali menjauh. Saat kulihat kau tak lagi menoleh dan tersenyum untukku. Saat kau tak lagi memanggil namaku. Saat akhirnya, kembali aku hanya melihat punggungmu.


                Kurasa memang baiknya seperti ini. Kau berjalan di depanku, dan aku dibalik punggungmu. Mendoakanmu dalam diam, tersenyum untukmu dalam diam, dan bertahan untukmu dalam diam.

jadi, kapan kau akan berniat untuk benar-benar berbalik?

Selasa, 08 Juli 2014

Catatan Sotoy Pemilu


Baru kali ini bahas yang bukan mengenai hati, perasaan, cinta, sakit hati dan lain-lain melainkan politik. Hahaha.

Oke. Ehem. Sekarang gue serius.


                Sebagai generasi muda yang sadar akan kemajuan bangsanya, gue merasa bertanggung jawab untuk tahu apa yang lagi happening saat ini. Iyap! pemilu tanggal 9 Juli nanti! Pemilu yang menurut gue paling ekstrem ini bakal kita lewatin kurang dari 24 jam lagi.


                Dulu, pas masih jaman-jamannya SD dan SMP, gue paling seneng ada pemilu. Ga boong deh! Soalnya kalo ada pemilu, biasanya kita bakal libur. HAHAHA. Nah, terus, gue yang masih kecil itu bakal penasaran sama jari orang-orang yang kelingkingnya berubah menjadi warna ungu.


                Gue tergolong anak baru dalam soal poilitik dan pilih-memilih. Iyalah, kan gue masih unyu, jadi baru boleh nyoblos. HAHAHA. Oke, stop.


                Sebenernya, dari SD gue udah tertarik sama politik. Terutama tertarik untuk mengkritik sama maki-maki anggota DPR yang kerjanya cuma enak-enakan, dan suka ga dateng saat rapat yang berurusan sama rakyat. Kadang suka greget sendiri kalo liat berita di TV tentang anggota DPR. Kapan tahu, gue pernah liat berita yang nyebutin kalo pas rapat.. apayah itu gue lupa anggota DPR yang dateng cuma kurang dari 20 orang. Bayangin! Anggota DPR yang nyampe ratusan itu, giliran rapat untuk rakyat ga ada yang dateng! Macam mana pula!


Dari situ gue ga respect.


Ketidak-respect-an gue itu bertambah gede menjelang pemilu kali ini.


                Menurut gue, ini adalah pemilu ter-ekstrem yang pernah gue liat. Dimana semua orang saling menjatuhkan satu sama lain, menjelek-jelekan, fitnah, dan gatau lagi apalah itu.


                Menurut gue lagi, sebagai orang yang baru meluncur dalam dunia ini, calon-calon presiden saat ini tuh belum dapat digolongan yang terbaik. Dari pandangan gue, masih banyak kekurangan-kekurangan dari bapak-bapak Presiden ini yang masih harus dibenahi. Jadi, ga perlulah menjatuhkan calon capres lain dan gencar banget ngelakuin Black Campaign.


                Contohnya nih Prabowo. Gue suka sama dia. Tapi dia ga suka gue. Eh. Oke, serius. Iya, jadi gue suka aja gitu sama Prabowo. Karakter tegasnya ituloh keliatan banget. Tapi, gue ga seneng sama calon Wapres-nya. Menurut gue, Pak Hatta ini... kok sedikit licik ya mukanya? *eh* ya gitu deh, kayak semua yang dia omongin itu kebalikan dari semua yang dia lakuin. Sebut saja gue sotoy. Tapi keliatannya begitu. Terus nih ya, gue ga suka sama pemilihan anggota-nya Prabowo. Yakali kalo dia menang, macam Rhoma-Irama bakal dijadiin menteri gitu? Nanti nama kabinetnya apa? Soneta gitu?


                Nah kalo Pak Jokowi ini.. sebenarnya gue setuju aja kalo dia jadi presiden. Bener, setuju. Karena menurut gue, dia adalah satu-satunya cahaya Indonesia untuk menjadi lebih baik. Tapi.. ada tapinya, bukan untuk saat ini. debut bapak Jokowi ini masih terlalu muda untuk menjadi seorang presiden. Kenapa dia ga benahin Jakarta dulu? Pak, banjir ini belum selesai loh. Apalagi macetnya. Saya sering stres kalo udah macet, Pak. Rasanya mau terjun aja dari Fly Over. Tapi, ga jadi. Masih sayang nyawa. Huehehe.


                Nah, harusnya Bapak itu benerin Jakarta dulu, Pak. Tuntasin semua masa jabatan Bapak. Bikin masalah-masalah  yang ada di Jakarta itu kelar dulu. Iya, saya ga meragukan bapak kok. Buktinya Bapak, udah terbukti jadi walikota terbaik di dunia kan? Tuh sampe masuk majalah Times juga lagi.


                Kalo diatas gue kritik Capresnya, sekarang gue mau kritik pendukungnya! *Pasang muka sebel*


                Ga ngerti sama keadaan Twitter yang lebih sering kebakaran akhir-akhir ini. sering banget panas. Banyak orang yang tadinya gatau apa-apa tentang politik, mendadak sok tahu. Oke, gue seneng. Itu akhirnya ada kemauan dari masyarakat untuk maju kan? Tapi.. yang sok tahu itu, bikin politik sendiri malah terlihat bodoh.


                Di media sosial macam Twitter,  saling menjatuhkan itu hal yang gampang. Apalagi nih ya, Judge orang itu enak. Sering kali kita melabeli seseorang dengan seenak kita tanpa tahu aslinya dia gimana. Contoh, ada orang yang sering banget buat status galau, terus serta merta kita pasti julukan dia tukang galau. Padahal belum tentu, dia aslinya galau. Malah orang yang kayak gitu cenderung punya pribadi yang berkebalikan dengan yang sering ditonjolin di dunia maya. Nah jadi, kalo ada yang tweet tentang politik dan merasa tahu segalanya, jangan anggap dia pintar, bisa aja kan kebalikannya kalo dia... ahsudahlah.


                Terus yang bikin bete lagi, Selebtweet yang gue follow buat sekedar gue ketawa-ketawa dan hilangin penat, mendadak ikutan promo para Capres. Ahelah, terus apalagi yang gue dapet dari twitter? Padahal gue buka twitter Cuma buat ketawa-ketawa gara-gara tweet lucu. Atau sekedar baca-baca motivasi. Bukan malah ngeliat orang pacaran yang kalo ngobrol pake RT-Rtan, atau kode kode yang bertebaran, atau apapun yang bikin mata gue sepet.


                Jadi, semoga pemilu 9 juli ini menjadi pemilu yang bersih ya. Gausahlah jelek jelekin lagi orang orang itu. Oh iya, untuk yang punya beda pendapat sama temennya, mudah-mudahan kalo pemilu bubar, temenan kalian juga ga ikutan bubar.


Perihal gue mau milih siapa tanggal 9 juli itu masih binggung sih.


Tapi aku sih maunya pilih kamuu..


Iya, kamuuu


I love you!



Hahaha #Maafin

Minggu, 06 Juli 2014

Unrequited Love [Short Story]



Bagaimana rasanya tidak terlihat?

                     Aku menghela nafas panjang dan berkali-kali. Berusaha mengurangi rasa sesak di hati. Mati-matian aku menahan air mata yang ingin meluncur turun. Tapi rasanya, aku tidak bisa.

                     Rasanya masih sakit. Sesak. Aku bahkan merasa aku tidak bisa bernafas saat ini. Sepertinya, semua oksigen mendadak lenyap dari bumi. Kenapa bisa begini?

                     Aku melemparkan pandangan keluar jendela. Menatap bangunan-bangunan rumah yang terlihat mengecil dari ketinggian. Iya, aku sedang berada di lantai 7 di fakultasku. Hari ini memang libur, dan aku menerobos masuk ke lantai 7 secara mengendap-ngendap. Sukses!

                     Jangan tanya kenapa aku berada disini sekarang. Aku hanya.. butuh tempat sendiri. Tempat dimana aku bisa berfikir ulang tentang semua yang aku lakukan. Duniaku terlalu ramai. Tapi biar begitu, rasanya masih sepi. Bahkan aku mengakui kalo ini terlalu sepi. Mereka semua ada saat mereka membutuhkanku. Tapi saat aku membutuhkan mereka.. ya kamu tahu sendirilah.

                     Dan menurutku, lantai 7 fakultas ini menjadi tempat favorite kedua setelah danau. Aku sangat suka berada di danau. Rasanya tenang. Melihat air bergerak pelan. Tapi mana mungkin aku berkunjung kesana saat libur begini? Bisa-bisa acara menyendiri ini menjadi tidak menarik.

                     Aku kembali menghela nafas ketika angin berhembus mengenai wajahku. Rasanya, jika sendiri seperti ini, aku benar-benar menyedihkan. Seperti tak ada tempat untukku berpegangan. Aku ingin berteriak dari lantai 7 ini. Tapi jika itu kulakukan.. aku akan ketauan satpam.

                     Oh iya. Apa kamu pernah menyukai seseorang?

                     Apa kamu pernah menyukai seseorang sampai.. rasanya kamu sanggup menanggung semua rasa sakit yang diakibatkan olehnya? Apa kamu pernah merasakan menyukai seseorang sampai kamu rasanya ingin terus selau melihat dia bahagia walau tak bersama kamu? Apa kamu pernah menyukai seseorang, walau hanya melihat punggungnya dari kejauhan itu sudah cukup?

Apa pernah?

Aku merasakannya sekarang.

                     Merasakan bagaimana rasanya melihat dia yang walau hanya punggungnya saja bisa membuatku bahagia. Merasakan bagaimana suara langkahnya saja membuat jantungku berpindah. Yah, seperti itulah.

                     Jangan berfikir ini kisah yang menyenangkan. Tidak. Justru sebaliknya.

                     Aku fikir, awalnya ini hanya sebuah rasa penasaran. Penasaran akan sosoknya yang menurutku terlihat baik. Dia mempunyai aura yang berbeda dengan semua orang yang aku lihat. Aura teduh. Iya. Karena setiap aku melihatnya, rasanya semua emosiku sirna. Dia bisa menenangkanku secara tidak langsung hanya karena menatapnya. Hebat kan?

Tapi satu masalahnya..

Ketika aku sadar ini bukan rasa penasaran lagi..

Dan saat sadar, dia tak mungkin dimiliki.

                     Sedih memang. Tapi.. rasanya.. aku bahkan tak bisa mendeksripsikannya. Ini seperti kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai dan tak peduli apa balasan yang kamu dapatkan. Selama kamu senang, maka itu akan baik-bak saja. Iya, seperti itu.

“Kenapa lo ga lupain aja elah.” Sheryl bertanya sambil memandangku. Sementara aku yang 
sedang meminum es teh manis, tersedak sedikit lalu cepat-cepat menepuk dadaku sendiri.

“Apa maksudnya?”

“Iya. Elo lupain itu Ka Axel. Ga capek?”

“HAHAHA. Ngga ah. Gue kan maunya ama dia.” Ucapku ngawur.

“Tapi pertanyaannya, emangnya dia mau sama lo?”

Jleb.

Saat itu aku memang hanya tertawa. Menganggap itu sebuah lelucon belaka. Tapi tanpa sadar hatiku membenarkan semuanya. Rasanya, aku terlalu memaksakan. Memaksa diriku sendiri lebih 
tepatnya.

Tapi.. melupakan tak bisa semudah itu kan?

                     Jangan dikira, aku tak mencoba. Berapa kali-pun aku mencoba, berapa kali itu juga 
aku gagal. Iya. Sebel ga sih? Saat udah niat ngelupain, ada aja kejadian yang bikin runtuh. Bikin tembok yang udah dibangun dengan susah payah itu hancur dalam sekali tendang.
Iya. Contohnya saat disapa.

                     Entah mimpi apa aku semalem, tapi pagi ini aku ngerasa sial. Udah kelewat sholat subuh, aku dapet parkiran jauh dari fakultas. Ya intinya sih aku kesiangan.

                     Saat itu aku mengendap-endap masuk pintu fakultas. Seperti maling, aku tengok kanan kiri dulu sebelum masuk. Memastikan bahwa sosoknya tak ada dimanapun.

“Aman!” sambutku girang lalu berjalan ke arah lift dengan santai dan menunggu di depan pintu 
lift yang sedang bergerak turun.

Dan saat itulah sosoknya masuk. Seperti radar, aku langsung refleks menengok ke arahnya. 
Mulutku menganga sempurna. Ini kacau!

“Naik lift sebelah sana aja gih!” gumamku dalam hati. aku merutuk. Kenapa lift ini lama banget sih turunnya?!

Tanpa sadar, aku melirik lagi. Dan melihatnya berjalan ke arah lift di sisi aku menunggu.

Oh, tidak. Ini buruk. Kiamat sudah..

                     Aku meremas-remas jemari tanganku. Gugup. Berharap tembok yang aku bangun tak lagi runtuh. Kurasakan dia berdiri di belakangku. Ah sial!

“Mata kuliah apa El?”

Tunggu! Itu suaranya? Dia menanyaiku ya?

                     Otomatis aku memutar tubuh, lalu tersenyum canggung. Masa iya sih aku mau pura-pura tak mendengarnya padahal ia sudah bertanya padaku? Oh, Bumi. Tolong telan aku!

                     Sesaat pikiranku kosong. Aku mata kuliah apasih hari ini? Ya tuhan! Kenapa aku malah terlihat ngga banget di depannya. Ampuni hamba.

“Ngg.. emm.. itu, Ka, ngg.. Bahasa indonesia. Hehe.”

Jawaban bodoh.

Dia manggut manggut sebentar, “Dosennya siapa? Bu Gina yah?”

Mampus! Siapa lagi Bu Gina?

“Hah? Oh bukan ka. Bu Jean yang ngajar. Hehehe.”

“Loh bukan bu Gea ya?”

Aku menggeleng. Masih berusaha tersenyum. Rasanya aku ingin lari. Kapan ini berakhir sih?

                     Beruntungnya saat itu temannya datang dan pintu lift mendadak terbuka. Bingo!


+++

                     Kejadiannya memang sudah lama. Tapi aku masih mengingat kala aku tersenyum sepanjang lorong sampai kelas. Dan dengan lancarnya menceritakan dengan teman-temanku.

“Jadi elo disapa? Wuaah!” Temanku hampir berteriak. Membuatku terpaksa membekap mulutnya.

“Toa banget sih!”

“Eh tapi, El. Kalo dia nyapa elo pake nama berarti dia kenal elo ya?”

“Gue aja ga nyangka. Gila.” Jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

 “Berarti kalo gitu.. jangan jangan dia udah tau perasaan lo?”

Tunggu..

Benar juga!

“Eh iya ya? Ah gilagila inimah gue mati. Aaakk mamaaah!”

                Begitulah. Dan akhirnya tembok itu hancur lagi.

                Tapi masalah berikutnya, sepertinya ini akan menjadi perasaan yang bertepuk sebelah tangan.

                Aku tak menyalahkannya sungguh. Ini kan salahku sendiri. Aku sadar, kalau ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan dan aku tetap melakukannya. Jadi ini bukan salahnya kan?

                Aku yang terlalu berharap. Aku yang terlalu melangkah terlalu jauh.

                Tadinya aku fikir, ini tak menyakitkan lagi jika tak dirasakan. Tapi tidak, ini tetap 
menyakitkan. Seberapa tulus-pun aku melakukannya. Ini tetap menyakitkan.

                Saat kamu selalu memandangnya tapi dia tak pernah melihat ke arahmu. Saat kamu 
menjadi tak terlihat di sekitarnya. Saat kamu seperti kerikil yang menghalangi jalannya.

                Menyakitkan kan?

                Rasanya lelah berjalan sendirian. Rasanya tak ada gunanya lagi untuk sekedar menunggu. Toh percuma saja kan? Semuanya akan tetap seperti ini. Tak berubah.

                Jadi buat apa aku repot-repot untuk tetap berdiri disisi ini? disisi dimana aku selalu memandangnya tapi dia tak pernah memandangku balik?



Di sisi, dimana aku tahu semua ini tak kan berbalas seberapun aku mencoba.

Jumat, 04 Juli 2014

Let Her Go [Short Story]






Karena bagian terberatnya adalah merelakan.

                Udah setengah jam gue masih duduk di bangku taman yang mulai lembab. Hari udah mulai gelap, dan gue sama sekali belum ngerasa kedinginan. Padahal tadi habis hujan. Dengan kasar gue mengusap muka berkali-kali lalu mengacak-acak rambut frustasi. Bingung. Gue bingung.

Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
‘cause love comes slow and it goes so fast.

                Gue mendongakkan kepala ke langit. Ini mendung. Dan ga satupun bintang kelihatan. Padahal, Cuma bintang yang bisa buat gue tenang.  Sepertinya langit juga berpihak sama gue. Seakan tahu, kalo gue disini lagi kehilangan.

                Kadang suka iri ga sama anak kecil? Gue iya. Gue iri saat ngeliat mereka dengan enaknya Cuma main, makan, tidur, nangis, berantem, dan segala kegiatan lain yang menurut gue asik. Mereka ga dipusingkan oleh masalah kuliah, sekolah, temen, biaya, ataupun hati. iya, hati.

                Hati gue saat ini lagi terluka. Pernah denger istilah ‘Waktu pasti menyembuhkan?’ iya itu. Gue percaya sih. Tapi anehnya, udah tiga bulan semenjak kejadian itu, gue bahkan belum bisa lupa dengan apapun. Ah, ternyata waktu juga bisa php.

                Gue menghela nafas lagi. Rasanya, kalo bisa, gue pengen banget ilang ingatan. Ngilangin semua kenangan gue sama dia. Ilangin rasa sakit hati yang dia buat. Ilangin segala apapun tentang dia.

                Iya. Dia. Dia yang udah kayak separuh nafas gue. Dia yang jika hilang, maka gue gak akan bisa bernafas dengan benar. Dia yang menempati sebagian hati gue sejak tiga tahun yang lalu. Dia yang membuat semua kenangan yang tersimpan di bagian paling spesial di otak gue. Dia yang jadi segalanya untuk gue. Tapi.. dulu.

Kapan sih lo ngerelain dia, Nan?

                Gue menutup mata. Ah, lagi lagi pertanyaan itu. Pertanyaan yang sering diajukan otak ke hati gue. Gue menarik nafas dalam. Ternyata begini rasanya ditinggalkan sama orang yang paling lo sayangi. Nyeri.

                Dunia gue rasanya seperti terlepas dari porosnya saat dia minta kita berhenti. Saat punggungnya berbalik membelakangi gue, gue sadar, saat itu, apa yang gue perjuangkan selama tiga tahun akhirnya berakhir. Gue ga lagi bisa memperjuangkan dia lagi.

Karena dia sudah diperjuangkan orang lain.

Gue masih ingat kata-katanya saat itu. Kata-kata terpahit yang pernah gue dengar.

“Nan, kayaknya kita... udah gabisa jalan sama-sama lagi.” Dia tersenyum saat itu. Matanya menyiratkan kesedihan, tetapi tersirat sedikit kelegaan disana.

“Kenapa?” Gue bertanya dengan suara yang tertahan.

“Ada beberapa hal yang udah gabisa kita toleransi lagi.”

“Tapi kita masih bisa perbaikin kan, Cha?”

Dia menggeleng, “Nggak bisa, Keenan. Nggak bisa..”

Saat itu, gue hanya bisa memandang matanya. Sedih rasanya saat kita percaya kita bisa, tapi dia justru sebaliknya. Dia bilang, kalo dia gak bisa lagi berjalan beriringan. Lalu, dibawa kemana kenangan yang kita buat selama tiga tahun belakangan? Apa masih berarti dimatanya? Apa masih ada artinya?

Apa dia masih inget kayak gue inget semua kenangan tentang dia?

**

                Gue melirik jam tangan. Beberapa menit lagi, kami akan merayakan Anniversary yang ke 3 tahun 3 bulan. Iya, kalo dia masih sama gue. Nyatanya, gue akan ngerayain ini sendirian. Masih sendirian di taman, gue kembali melihat langit.

“Kenapa gue baru tahu kalo merelakan gak akan semudah ini?” Gue bergumam sendiri. Bertanya pada angin yang lewat. Membiarkan pertanyaan itu hilang dengan sendirinya.

Gue melirik kembali jam tangan hitam gue. 3 detik lagi, dan gue mulai menghitung mundur.

3..

2..

1..

Lantunan lagu Let Her Go dari Passenger terdengar dari handphone. Gue mengambil hape lalu kemudian tersedak sendiri. Namanya muncul dalam ID panggilan.

Halo, Keenan?” Dia menyapa. Gue baru sadar, betapa gue rindu suara ini.

“Ya. Halo, Cha. Kenapa?”

Nan. Selamat tanggal 1 ya. Selamat 3 tahun 3 bulan.”

Deg. Dia ingat..

Nan..” Dia menghela nafasnya sebentar, “Aku minta maaf ya sama kamu. Aku mau minta maaf untuk 
semuanya.”

“Aku minta maaf kalo aku bikin kamu sakit hati. aku minta maaf udah kecewain kamu.”

 “Aku minta maaf kalo aku...”

Cha, kamu bahagia?” Gue memotong ucapannya. Mata gue terpejam. Rasanya menusuk. Perih.

“Eh? Apa Nan?” Dia bertanya ragu-ragu,

“Aku tanya. Kamu bahagia sama dia?” Gue menelan ludah. Rasanya tenggorokan gue kering. “Lebih bahagia daripada kamu sama aku?”

Samar-samar aku mendengarnya menghela nafas berat.

“Jawab aja, Cha. Aku gapapa.” Gue  memaksakan diri untuk tertawa. Tawa pahit.

“Iya, Nan. Aku... bahagia sama Rendy. Lebih bahagia sekarang..”

Gue menghirup nafas dalam-dalam. Menyedot semua oksigen di sekitar. Memastikan kalo gue masih bisa bernafas.

“Oke kalau begitu.” Gue membuka mata, “Aku.. relain kamu, Cha.”

“Nan..”

“Aku relain kamu, Cha.” Ulang gue sambil tersenyum, “Aku kira, tiga bulan waktu yang cukup untuk membuktikan apa kamu bahagia atau ngga. Seandainya kamu tadi jawab kamu ga bahagia. Aku.. siap 
ngerebut kamu lagi.”

“Keenan..”

“Tunggu, Cha. Aku belum selesai.” Gue menarik nafas lagi, “Tapi diluar dugaan. Kamu malah bilang kamu lebih bahagia dibanding saat bersama aku. Terus aku sekarang harus apa, Cha? Hahah. Seandainya kamu bilang nggak bahagia tadi, mungkin aku sekarang udah ada di rumah kamu. Nembak kamu lagi kayak tiga tahun lalu.”

Iya, seandainya...

“Cha, baik baik yah. Selamat 3 tahun tiga bulan juga.”

Setelahnya gue langsung menekan ikon merah dan mematikan handphone. Gue menghela nafas. Lalu menghembuskannya pelan-pelan. Gue, bener-bener harus merelakan dia.

Walau hati gue ga yakin, gue bisa.


***