Bagaimana rasanya
tidak terlihat?
Aku
menghela nafas panjang dan berkali-kali. Berusaha mengurangi rasa sesak di
hati. Mati-matian aku menahan air mata yang ingin meluncur turun. Tapi rasanya,
aku tidak bisa.
Rasanya
masih sakit. Sesak. Aku bahkan merasa aku tidak bisa bernafas saat ini. Sepertinya,
semua oksigen mendadak lenyap dari bumi. Kenapa bisa begini?
Aku
melemparkan pandangan keluar jendela. Menatap bangunan-bangunan rumah yang
terlihat mengecil dari ketinggian. Iya, aku sedang berada di lantai 7 di
fakultasku. Hari ini memang libur, dan aku menerobos masuk ke lantai 7 secara
mengendap-ngendap. Sukses!
Jangan
tanya kenapa aku berada disini sekarang. Aku hanya.. butuh tempat sendiri. Tempat
dimana aku bisa berfikir ulang tentang semua yang aku lakukan. Duniaku terlalu
ramai. Tapi biar begitu, rasanya masih sepi. Bahkan aku mengakui kalo ini
terlalu sepi. Mereka semua ada saat mereka membutuhkanku. Tapi saat aku
membutuhkan mereka.. ya kamu tahu sendirilah.
Dan
menurutku, lantai 7 fakultas ini menjadi tempat favorite kedua setelah danau. Aku
sangat suka berada di danau. Rasanya tenang. Melihat air bergerak pelan. Tapi mana
mungkin aku berkunjung kesana saat libur begini? Bisa-bisa acara menyendiri ini
menjadi tidak menarik.
Aku
kembali menghela nafas ketika angin berhembus mengenai wajahku. Rasanya, jika
sendiri seperti ini, aku benar-benar menyedihkan. Seperti tak ada tempat
untukku berpegangan. Aku ingin berteriak dari lantai 7 ini. Tapi jika itu
kulakukan.. aku akan ketauan satpam.
Oh
iya. Apa kamu pernah menyukai seseorang?
Apa
kamu pernah menyukai seseorang sampai.. rasanya kamu sanggup menanggung semua
rasa sakit yang diakibatkan olehnya? Apa kamu pernah merasakan menyukai
seseorang sampai kamu rasanya ingin terus selau melihat dia bahagia walau tak bersama
kamu? Apa kamu pernah menyukai seseorang, walau hanya melihat punggungnya dari
kejauhan itu sudah cukup?
Apa pernah?
Aku merasakannya sekarang.
Merasakan
bagaimana rasanya melihat dia yang walau hanya punggungnya saja bisa membuatku
bahagia. Merasakan bagaimana suara langkahnya saja membuat jantungku berpindah.
Yah, seperti itulah.
Jangan
berfikir ini kisah yang menyenangkan. Tidak. Justru sebaliknya.
Aku
fikir, awalnya ini hanya sebuah rasa penasaran. Penasaran akan sosoknya yang
menurutku terlihat baik. Dia mempunyai aura yang berbeda dengan semua orang
yang aku lihat. Aura teduh. Iya. Karena setiap aku melihatnya, rasanya semua
emosiku sirna. Dia bisa menenangkanku secara tidak langsung hanya karena
menatapnya. Hebat kan?
Tapi satu masalahnya..
Ketika aku sadar ini bukan rasa
penasaran lagi..
Dan saat sadar, dia tak mungkin
dimiliki.
Sedih
memang. Tapi.. rasanya.. aku bahkan tak bisa mendeksripsikannya. Ini seperti
kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai dan tak peduli apa balasan yang kamu
dapatkan. Selama kamu senang, maka itu akan baik-bak saja. Iya, seperti itu.
“Kenapa lo ga lupain aja elah.” Sheryl bertanya sambil memandangku. Sementara
aku yang
sedang meminum es teh manis, tersedak sedikit lalu cepat-cepat menepuk
dadaku sendiri.
“Apa maksudnya?”
“Iya. Elo lupain itu Ka Axel. Ga capek?”
“HAHAHA. Ngga ah. Gue kan maunya ama dia.” Ucapku ngawur.
“Tapi pertanyaannya, emangnya dia mau sama lo?”
Jleb.
Saat itu aku memang hanya tertawa.
Menganggap itu sebuah lelucon belaka. Tapi tanpa sadar hatiku membenarkan
semuanya. Rasanya, aku terlalu memaksakan. Memaksa diriku sendiri lebih
tepatnya.
Tapi.. melupakan tak bisa semudah
itu kan?
Jangan
dikira, aku tak mencoba. Berapa kali-pun aku mencoba, berapa kali itu juga
aku
gagal. Iya. Sebel ga sih? Saat udah niat ngelupain, ada aja kejadian yang bikin
runtuh. Bikin tembok yang udah dibangun dengan susah payah itu hancur dalam
sekali tendang.
Iya. Contohnya saat disapa.
Entah mimpi apa aku semalem, tapi pagi ini
aku ngerasa sial. Udah kelewat sholat subuh, aku dapet parkiran jauh dari
fakultas. Ya intinya sih aku kesiangan.
Saat itu aku
mengendap-endap masuk pintu fakultas. Seperti maling, aku tengok kanan kiri dulu
sebelum masuk. Memastikan bahwa sosoknya tak ada dimanapun.
“Aman!” sambutku girang lalu berjalan ke arah lift dengan santai dan
menunggu di depan pintu
lift yang sedang bergerak turun.
Dan saat itulah sosoknya masuk. Seperti radar, aku langsung refleks
menengok ke arahnya.
Mulutku menganga sempurna. Ini kacau!
“Naik lift sebelah sana aja gih!” gumamku dalam hati. aku merutuk. Kenapa
lift ini lama banget sih turunnya?!
Tanpa sadar, aku melirik lagi. Dan melihatnya berjalan ke arah lift di
sisi aku menunggu.
Oh, tidak. Ini buruk. Kiamat sudah..
Aku meremas-remas
jemari tanganku. Gugup. Berharap tembok yang aku bangun tak lagi runtuh. Kurasakan
dia berdiri di belakangku. Ah sial!
“Mata kuliah apa El?”
Tunggu! Itu suaranya? Dia menanyaiku ya?
Otomatis aku
memutar tubuh, lalu tersenyum canggung. Masa iya sih aku mau pura-pura tak
mendengarnya padahal ia sudah bertanya padaku? Oh, Bumi. Tolong telan aku!
Sesaat pikiranku
kosong. Aku mata kuliah apasih hari ini? Ya tuhan! Kenapa aku malah terlihat
ngga banget di depannya. Ampuni hamba.
“Ngg.. emm.. itu, Ka, ngg.. Bahasa indonesia. Hehe.”
Jawaban bodoh.
Dia manggut manggut sebentar, “Dosennya siapa? Bu Gina yah?”
Mampus! Siapa lagi Bu Gina?
“Hah? Oh bukan ka. Bu Jean yang ngajar. Hehehe.”
“Loh bukan bu Gea ya?”
Aku menggeleng. Masih berusaha tersenyum. Rasanya aku ingin lari. Kapan
ini berakhir sih?
Beruntungnya saat
itu temannya datang dan pintu lift mendadak terbuka. Bingo!
+++
Kejadiannya
memang sudah lama. Tapi aku masih mengingat kala aku tersenyum sepanjang lorong
sampai kelas. Dan dengan lancarnya menceritakan dengan teman-temanku.
“Jadi elo disapa?
Wuaah!” Temanku hampir berteriak. Membuatku terpaksa membekap mulutnya.
“Toa banget sih!”
“Eh tapi, El. Kalo dia
nyapa elo pake nama berarti dia kenal elo ya?”
“Gue aja ga nyangka. Gila.”
Jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Berarti kalo gitu.. jangan jangan dia udah
tau perasaan lo?”
Tunggu..
Benar juga!
“Eh iya ya? Ah gilagila
inimah gue mati. Aaakk mamaaah!”
Begitulah.
Dan akhirnya tembok itu hancur lagi.
Tapi masalah
berikutnya, sepertinya ini akan menjadi perasaan yang bertepuk sebelah tangan.
Aku tak
menyalahkannya sungguh. Ini kan salahku sendiri. Aku sadar, kalau ini akan
menjadi sesuatu yang menyakitkan dan aku tetap melakukannya. Jadi ini bukan
salahnya kan?
Aku yang
terlalu berharap. Aku yang terlalu melangkah terlalu jauh.
Tadinya
aku fikir, ini tak menyakitkan lagi jika tak dirasakan. Tapi tidak, ini tetap
menyakitkan. Seberapa tulus-pun aku melakukannya. Ini tetap menyakitkan.
Saat kamu
selalu memandangnya tapi dia tak pernah melihat ke arahmu. Saat kamu
menjadi
tak terlihat di sekitarnya. Saat kamu seperti kerikil yang menghalangi
jalannya.
Menyakitkan
kan?
Rasanya
lelah berjalan sendirian. Rasanya tak ada gunanya lagi untuk sekedar menunggu. Toh
percuma saja kan? Semuanya akan tetap seperti ini. Tak berubah.
Jadi buat
apa aku repot-repot untuk tetap berdiri disisi ini? disisi dimana aku selalu
memandangnya tapi dia tak pernah memandangku balik?
Di sisi, dimana aku tahu semua ini tak kan berbalas
seberapun aku mencoba.