Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 25 Desember 2014

The One

Pernah denger quotes ini?

Hidup itu kayak sekotak coklat, kita ga akan pernah tau apa yang kita dapat.”
                Banyak analogi tentang hidup. Tapi gue paling setuju dengan ungkapan sekotak coklat. Kenapa? Karena dalam sekotak coklat ada berbagai rasa yang secara ga langsung ngewakilin semua perasaan yang ada di manusia. Kita juga ga bakal tau rasanya sampai kita mencobanya sendiri. Bisa manis, pahit, isi kacang, atau isi kismis, bisa coklat susu atau malah kita bakal dapet dark chocolate.
((Tiba-tiba pengen coklat))

                Kita juga ga bakal bisa menebak apa yang terjadi sama hidup kita besok. Terkadang, hidup-pun seakan mempermainkan kita.  Seakan-akan semesta mendukung kita, nggak taunya menikung. Mau marah, marah kesiapa? Ke Tuhan? Tapi takut dikutuk. Mau marah ke semesta juga ga mungkin. Yakali kita marahin semesta dengan cara apa? Injek-injek tanah? Ntar disangka lagi mainan injek-injek bumi yang injek jaga..
Serba salah nggak? Pastinya.

                Sebenernya ga ada niat bahas kehidupan. Tapi bahas apa yang ada di kehidupan.

                Masih tentang ‘orang-orang-yang-ada-di-kehidupan-kita’. Sebenernya sadar nggak sih, kalo kehidupan kita ataupun orang lain itu tempat singgah? Iya, singgah. Ntah kita yang singgah di kehidupan dia ataupun dia yang singgah di kehidupan kita.

                Fase inipun akan berganti setiap waktu. Ada fase seneng-senengnya, fase bosen-bosennya, fase kembali seneng-senengnya, fase menghilang, lalu terakhir fase muncul lagi.

                Yang paling males adalah dua fase terakhir. Fase menghilang lalu muncul lagi.

                Semua orang pasti pernah punya seseorang yang pengen banget dilupain. Berjuang bertahun-tahun buat lupa, buat nggak inget, buat nggak mengenang lagi, buat ikhlas dan menerima sampai akhirnya bisa menerima kenyataan dan ‘baik-baik aja’.

                Perjuangan itu bakal sia-sia kalo orang yang udah diperjuangin buat dilupain tiba-tiba muncul lagi. Dateng lagi. Nyapa lagi. Seolah-olah gak ada apa-apa. Kalo udah begitu ya maunya marah-marah. Mau maki-maki. Iya nggak?

Dan ah, itu gak akan bisa sama lagi kayak dulu.

                Seberapa-pun orang itu berjanji akan baik-baik aja ketika dia akan pergi, like, “Kita masih bisa kok kayak gini, kita masih bisa begini kan? Atau lo bisa hubungin gue kapan aja.” Itu gak akan berpengaruh bagi gue.

                Karena menurut gue, ketika dia berkata gitu, artinya dia gak akan pernah sama lagi dengan ‘dia’ yang dulu kita kenal. Ada sekat. Ada gelembung yang ga bisa kita pecahin antara kita sama dia. Dan itu kalimat basa-basi-yang-ampun gue benci. Dan karena kalimat itu kita secara ga langsung bakal jaga jarak juga ngga sih? Bakal biasa lagi nggak? Nggak kan. Jadi dimana ‘masih-bisa-begini-kan’-nya?

Gak apa-apa . Semua orang pergi. Karena Cuma dia yang tepat yang kembali-@daraprayoga_
                Iya. Cuma dia yang tepat yang kembali. Dia yang telah lelah mencari. Dia yang akhirnya menyadari bahwa kamulah yang  menjadi tujuan akhirnya. Dia yang telah berkelana hanya untuk membuktikan kamu adalah rumahnya. Tempat ternyaman yang pernah dia kunjungi setelah lama mencari.

                Jadi, tetaplah menunggu untuk ‘dia’ yang akan kembali. Dia yang kamu anggap tepat. The one.

*kuatin diri sendiri (‘-‘)9*

*ketawa*

*ketawa*

*tiba-tiba diem*


                Anyway, tahun baru enaknya bikin catatan perjalanan singkat selama tahun 2014 kali ya? (Iya kalo niat). Sampai bertemu 2015 dengan cerita baru dan orang-orang yang baru lagi!

Rabu, 24 Desember 2014

They Come and Go


Ini semua tulisan mengenai mereka yang datang dan pergi.

Ya namanya juga hidup, pasti ada masa-masa dimana kita berinteraksi dengan orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu. Awalnya memang simple, lalu seiring berjalannya waktu menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Karena hidup kita membutuhkan orang lain, seringkali kita 'kedatangan' orang-orang di hidup kita. Entah dengan maksud menetap atau hanya singgah. Entah dengan maksud main-main atau sungguh-sungguh. Entah yang awalnya hanya sekedar memperhatikan kemudian  kehadirannya menjadi penting.

Karena kedatangan yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan kita, seharusnya orang itu pun wajib pamit ketika akan pergi dari kehidupan kita.

Ibarat kata, kita bertamu ke tetangga kita. Udah disambut dengan baik, dikasih makan, dijamu, dibolehin ini-itu eh terus kita main kabur aja gitu pas udah disambut dengan 'sebaik-baiknya'.

Sopan nggak? Nggak.

Bikin sakit hati ngga? Iya.

Paling ngga, ketika pergi kita mengucapkan makasih atau apapun yang buat si tuan rumah merasa dihargai. Bukan tiba-tiba menghilang.

Begitu juga kehidupan. Kehidupan kita itu private sifatnya. Ibarat rumah, kita itu tuan rumahnya. Kalo ada yang dateng ya wajib disambut. Tapi tau diri juga sih sebagai 'tamu'. Kalo mau pergi ya mbok bilang-bilang gitu. Pamit. Kasih alesan. Kasih penjelasan. Jangan main kabur aja kayak maling. Iya mending kalo nggak ada yang dicuri, kalo hatinya nggak sengaja kebawa gimana?

#EAA

Karena seberapa singkatpun kamu masuk ke kehidupan seseorang pasti akan meninggalkan jejak berupa kenangan.

Mungkin, ketika tamu itu datang, niatnya cuma iseng. Lalu kemudian berubah seiring berjalannya waktu. Dan karena suatu hal dia memutuskan pergi tanpa pamit.

tapi tolong, berikan kenangan baik untuk si tuan rumah.

dan untuk si tuan rumah : kurang-kuranginlah bapernya

Hehe
Heh
He
H
He
Heh
Hehe

Sabtu, 04 Oktober 2014

I'm Only Human [Story]

But I’m only Human
And I bleed when I fall down
But I’m only Human
And I crash and I break down.
---

                Semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta diam-diam.

                Jatuh cinta diam-diam? Ah, kata-kata itu sudah melekat di kamus hidupku. Aku sering melakukannya. Menyukai seseorang secara diam-diam. Menyenangkan, awalnya. Tapi, menyakitkan, ujungnya.

                Ketika kamu jatuh cinta diam-diam, ada suatu perasaan khusus yang kamu rasakan. Tadinya juga begitu. Awalnya, aku senang memandang Dirga dari jauh. Mengamati senyumnya, merekam tawanya, menyimpan wajah gundah dan diamnya. Aku senang ketika tak sengaja berpapasan dengannya, saat mata kami beradu, dan semuanya terasa kabur. Meski disaat yang sama, rasanya bibirku terasa terkunci. Tak bisa bergerak, bahkan kaku.  Yang niatnya ingin mengucap ‘Hai’ atau sekedar senyuman, tapi malah berakhir dengan wajah beku dan mata yang tertancap padanya tanpa berkedip. Iya, aku tahu itu menyeramkan.

                Awalnya,  semua masih menyenangkan. Sungguh! Rasa berdebar saat tak sengaja ketahuan ketika melihatnya adalah salah satu candu. Aku juga begitu, rasa berdebar itu selalu sukses membuatku jantungku seperti pindah dari tempatnya. Entah jatuh ke dasar, atau seakan terbang.

                 Iya, itu awalnya. Awal yang manis. Awal yang terkesan lucu. Awal yang tidak kamu tahu akan berakhir dengan kepahitan yang luar biasa dalam.

                Lama-kelamaan perasaan itu memudar. Perasaan yang dulu aku anggap menyenangkan itu menghilang. Pada faktanya, menjadi seorang  yang mengaggumi orang lain diam-diam hanya akan menyakiti perasaan kita sendiri juga secara diam-diam.... dan perlahan.

                Setidaknya begitu yang aku rasakan. Ketika Dirga perlahan mendekati orang lain, mendengarnya saja sudah membuat jantungku serasa dipukul godam. Belum lagi, adegan-adegan yang tak sengaja tertangkap oleh lensa mataku. Sepele memang. Seperti saat tangannya digandeng dengan paksa oleh salah satu teman perempuan di kelasnya. Aku tahu, itu tak sengaja. Wajah mereka juga tidak bahagia—bahkan cenderung terburu-buru. Tapi, Hey! Aku cemburu.

                Aku bahkan ingin menerjang mereka, menyelip diantara mereka, lalu melepas genggaman itu dengan paksa dan berteriak, “Eh! Ini cowok udah gue booking di masa depan. Dilarang pegang-pegang, Please!”
Tapi sepertinya tidak mungkin...

+++

                “DIRGA!”

                Aku seketika tersentak dari keasyikanku mengunyah sepotong siomay besar saat mendengar namanya bergema di kantin yang kebetulan sedang dalam keadaan sepi. Mataku langsung berputar ke segala arah, mencari sosoknya. Lalu, hampir tersedak ketika menemukan tubuh tegapnya di pintu salah satu warung di kantin. Ketika akhirnya mata kami bertemu untuk kesekian kalinya, senyum itu tak juga nampak. Wajah itu seakan kaku, lalu sedetik kemudian, aku melihat Dirga membuang pandangannya.

                Dia tak tahu, ketika itu terjadi, jauh di dalam sana sebuah hati benar-benar menjadi hancur detik itu juga.

+++

                “Lo itu bego tau ga sih, Han. Bego, munafik lagi.”

                “Han, dengerin gue, apa gunanya sih lo suka sama Dirga tapi gak diungkapin?”

                “Hidup lo itu so pathetic banget sih Han. Bisanya Cuma liat punggung doang!”

                Sederet omelan Gina yang sering kudengar beberapa hari lalu kini tak terdengar. Yang ada sekarang, hanyalah Gina yang dengan lembut menepuk-nepuk punggungku.  Lalu sepertiku, menarik nafas dalam dan panjang. Gina yang sekarang, adalah Gina yang sudah menyiapkan sekotak tisu besar untuk berjaga-jaga jika aku menangis hebat. Padahal, aku meneteskan air mata saja belum.

                Begitu mendengar dan melihat sosok Dirga di kantin, nafsu makanku hilang. Lalu dengan cepat aku menemui  Gina dengan suara serak menahan tangis. Jujur saja, aku memang ingin menangis saat itu. Sangat ingin.

                Ketika melihatnya di kantin tadi, rasanya kejadian itu terulang. Kejadian dimana aku menganggapnya sebuah mimpi buruk.  Kejadian dimana aku menyesal berada di situasi seperti itu. Kejadian dimana aku merasa, aku memang orang paling bodoh di dunia.

Kenapa?

                Karena aku berani memimpikan sesuatu dengan dia yang pernah memimpikanku saja tidak. Karena aku berani menaruh segala harap pada dia yang melihatku saja tidak. Iya, sebodoh itu.

                “Udah ya, Han. Lo ga bisa nyimpulin semuanya cepet-cepet gitu.” Gina menepuk punggungku. Berusaha memberi pengertian dari sudut pandangnya.

                “Gin..” aku menarik nafas, “Apa yang salah dari kesimpulan gue?” tanyaku balik lalu memperhatikan raut wajahnya.

                “Apa gue salah nyimpulin kalo dia lebih respect ke Sarah? Apa gue salah dia lebih melihat Sarah daripada gue? Gin.. jujur aja. Lo mengakuinya kan? Ngakuin kalo Dirga lebih suka ke Sarah?”

                Gina diam. Dari raut wajahnya, aku bisa membaca bahwa dia setuju atas semua yang aku katakan. Aku menarik nafas lagi. Kali ini lebih panjang. Sambil berusaha meredam air mataku agar tidak tumpah.

                “Kenapa kejadian lagi sih, Gin?” Aku berkata pelan. Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kenapa orang yang gue suka selalu sukanya sama temen gue?” Aku menutup muka. Berusaha menutupi air mataku yang perlahan mengalir.

                Gina kembali menepuk-nepuk punggungku simpati, “Kalo mau nangis, nangis aja.”

                Aku menggeleng, lalu mengangkat wajahku sambil menghapus air mata yang akan jatuh. “Gabisa, Gin. Gue harus baik-baik aja.”

                “Gue harus bisa baik-baik aja sekalipun hati gue sakitnya luar biasa. Gue harus bisa baik-baik aja bahkan ketika Dirga lebih memilih basa-basi sama Sarah daripada sama gue. Padahal disitu ada gue loh, Gin. Hahaha..” aku memaksakan diri untuk tertawa sekalipun air mataku terus mengalir.

                “Disitu.. ada.. gue.. Gin..” Aku kembali menutup muka ketika dirasa air mataku lebih banyak dari sebelumnya. “Tapi.. dia.. lebih milih nyapa Sarah. Kenapa dia ga nyapa kita berdua aja? Emang gue segitu ga keliatannya?” Lanjutku.

                Gina yang daritadi hanya menepuk punggungku kini mulai memelukku.

                “Jangan dipeluk, nanti gue makin nangis kejer. Ga ada yang tanggung jawab ini. Haha” aku mencoba bercanda.

                “Jangan ketawa lagi, Han. Gue tau lo lagi nangis di dalem. Jangan pura-pura tegar.”

                Aku mengangguk, lalu kemudian balas memeluk Gina. Menangis. Menuangkan seluruh perasaan kecewaku disana. Perasaan yang aku pendam. Perasaan yang tidak tersampaikan bahkan dalam bentuk kata.

                “Sempet nyesel kenapa gue yang harus peka. Tapi kayaknya Sarah ga peka-peka. Sedih lah kenapa harus lo yang ngerti kode dari orang yang lo suka tapi kode itu bukan buat lo.”

                “Gue.. gabisa berbuat apa-apa kan, Gin. Lagian, Sarah lebih baik dari gue. Ya wajar sih Dirga lebih suka dia yang kalem daripada gue yang pecicilan. Gin, dunia gue masih baik-baik aja kan?”

                Gina mengangguk, “Dunia lo masih baik-baik aja.”

                “Sekalipun dunia gue hancur. Sekalipun dunia seakan menikung gue dari jalan takdirnya. Gue akan menganggap dunia gue baik-baik aja. Walau gue tau, kini dunia gue kehilangan porosnya.” Kataku sambil terisak, “Dan gue, akan berhenti melakukan hal bodoh yang berkaitan dengan Dirga.”
 I

Sabtu, 13 September 2014

Nggak enakan?


Pernah ngerasain sendirian padahal lagi ramai-ramainya?

Pernah ngerasain seakan lo ga punya teman untuk sekedar berbagi cerita tentang semua yang lo alami?

Pernah ngerasain seakan dunia dan semesta dengan terang-terangan menolak kehadiran lo untuk sekedar berpijak pada tempatnya?

Gimana rasanya?

Ada satu perkataan yang selalu gue ingat sampai sekarang,

“Jangan pernah capek jadi orang baik”

Gue kira gue akan pernah ngeluh lagi ketika dinasihatin pake kalimat ini

Tapi nyatanya, gue capek.

Capek saat kebaikan yang lo kasih disalahgunakan.

Disengaja. Dimanfaatin.

Jadi orang yang nggak enakan itu.. ya nggak enak. Harus selalu ngedahuluin perasaan orang lain dibanding perasaan diri sendiri. Kalo nggak suka ya terpaksa harus ditutupin biar orangnya nggak sakit hati. Selalu fake smile. Gak bisa marah. Selalu nurut. Harus ikut-ikutan sesuatu yang ga disukain beneran. Dan itu.. nggak enak.

                Orang tipe nggak enakan ini, kayak bom waktu. Dia menyimpan semua kejengkelannya sampe bener-bener numpuk, baru meledak. Meledaknya pun ga nanggung-nanggung. Dia bakal ngeluarin semua unek-unek yang dia punya. Apa yang ada di fikirannya biasanya dia keluarin. Tapi abis meledak dia ngerasa nyesel dan kembali nggak enak sih #Tetep.
Dan seminggu terakhir gue meledak.

                Lagi nggak seneng ketika lagi diem tiba-tiba nama seseorang yang selalu nempel di ingatan dijadiin bahan bercandaan sama temen. Diomongin keras-keras. Kayak mengorek luka lama gitu. Iya luka.. kan ga kesampaian. #Huf

                Intinya sih hargain perasaan siapapun deh. Gak semua orang bisa speak up kalo dia gak suka. Paling nggak lo harus baca body language dia kalo dia gak suka.

Dan yang harus dicatet : Jangan jadi orang ngeselin yang suka ganggu ganggu privasi orang. Apalagi nebak nebak apa isi hatinya.


WOHO akhirnya nge-blog juga setelah 2 bulan vakum. Yey! Selamat Sat-nite bagi yang merayakan!

Jumat, 18 Juli 2014

Sad Beautiful Tragic




Aku melihat bayangmu menjauh dalam gelap. Berjalan di tengah kesepian yang semakin pekat. Langkahmu dengan pasti meninggalkanku. Sendiri. Sunyi.


Angin berhembus menerbangkan harapan. Harapanku terbang. Menjauh dan hilang seiring jejak langkah yang terhapus oleh hujan. Harapan yang aku simpan dalam diam. Harapan yang perlahan kutimbun untukmu. Harapan yang membuatku bertahan.
                

Tapi kamu hanya tersenyum dari kejauhan. Enggan mendekat lagi. Begitupun aku. Langkah kakiku kaku. Tak bisa berjalan. Seperti di paku, aku hanya bisa menatapmu balik. Memohon agar kamu menahan langkah kaki yang akan membuatmu jauh dariku. Tapi tidak, kamu tetap berjalan.

                Lalu aku.. terdiam. Berteman sunyi, aku diam. Ntah apa yang kufikirkan, tapi kurasa hidup tak lagi menyenangkan. Tak lagi berwarna. Dan tak lagi.. bermakna.

                Hai kamu. Bolehkah aku meminta? Permintaan sederhana. Sesederhana ketika kamu tertawa untuk sesuatu yang lucu. Sesederhana api yang membakar kayu dan merubahnya menjadi abu. Iya. Sesederhana itu.

                Maukah kau bertahan untukku?

                Maukah kau mempertahankanku?

                Maukah kau melangkah bersamaku?

                Maukah.. kini kau yang menungguku?

                Menunggu ya, tak apa jika kamu tak mau. Aku tahu itu berat. Tapi.. aku melakukannya. Aku menunggumu. Aku menunggu punggungmu berbalik dengan sabar. Aku menunggumu menyadari keberadaanku dengan sejuta harap disetiap harinya. Aku menunggumu untuk sekedar menoleh ke arahku kemudian tersenyum. Aku menunggumu untuk sekedar memanggil namaku.

                Dan ketika semua itu terjadi, kau tahu betapa bahagianya aku? Saat aku tahu kau mulai menoleh ke arahku dan memanggil namaku. Saat kau mulai tersenyum. Saat kau mulai merubah duniaku menjadi lebih baik.

                Ini indah.. tapi juga menyakitkan. Pada faktanya, aku tahu kau tak berbalik. Hanya menoleh. Hanya melihat sekilas seseorang yang berdiri dengan sejuta perasaan di belakangmu. Iya. Itu aku.

                Kau hanya memastikan aku baik-baik saja dengan semua perasaan ini kan? Kau mau tahu? Aku-tidak-baik-baik-saja.


                Ini indah.. tapi menyakitkan. Saat kulihat langkahmu kembali menjauh. Saat kulihat kau tak lagi menoleh dan tersenyum untukku. Saat kau tak lagi memanggil namaku. Saat akhirnya, kembali aku hanya melihat punggungmu.


                Kurasa memang baiknya seperti ini. Kau berjalan di depanku, dan aku dibalik punggungmu. Mendoakanmu dalam diam, tersenyum untukmu dalam diam, dan bertahan untukmu dalam diam.

jadi, kapan kau akan berniat untuk benar-benar berbalik?

Selasa, 08 Juli 2014

Catatan Sotoy Pemilu


Baru kali ini bahas yang bukan mengenai hati, perasaan, cinta, sakit hati dan lain-lain melainkan politik. Hahaha.

Oke. Ehem. Sekarang gue serius.


                Sebagai generasi muda yang sadar akan kemajuan bangsanya, gue merasa bertanggung jawab untuk tahu apa yang lagi happening saat ini. Iyap! pemilu tanggal 9 Juli nanti! Pemilu yang menurut gue paling ekstrem ini bakal kita lewatin kurang dari 24 jam lagi.


                Dulu, pas masih jaman-jamannya SD dan SMP, gue paling seneng ada pemilu. Ga boong deh! Soalnya kalo ada pemilu, biasanya kita bakal libur. HAHAHA. Nah, terus, gue yang masih kecil itu bakal penasaran sama jari orang-orang yang kelingkingnya berubah menjadi warna ungu.


                Gue tergolong anak baru dalam soal poilitik dan pilih-memilih. Iyalah, kan gue masih unyu, jadi baru boleh nyoblos. HAHAHA. Oke, stop.


                Sebenernya, dari SD gue udah tertarik sama politik. Terutama tertarik untuk mengkritik sama maki-maki anggota DPR yang kerjanya cuma enak-enakan, dan suka ga dateng saat rapat yang berurusan sama rakyat. Kadang suka greget sendiri kalo liat berita di TV tentang anggota DPR. Kapan tahu, gue pernah liat berita yang nyebutin kalo pas rapat.. apayah itu gue lupa anggota DPR yang dateng cuma kurang dari 20 orang. Bayangin! Anggota DPR yang nyampe ratusan itu, giliran rapat untuk rakyat ga ada yang dateng! Macam mana pula!


Dari situ gue ga respect.


Ketidak-respect-an gue itu bertambah gede menjelang pemilu kali ini.


                Menurut gue, ini adalah pemilu ter-ekstrem yang pernah gue liat. Dimana semua orang saling menjatuhkan satu sama lain, menjelek-jelekan, fitnah, dan gatau lagi apalah itu.


                Menurut gue lagi, sebagai orang yang baru meluncur dalam dunia ini, calon-calon presiden saat ini tuh belum dapat digolongan yang terbaik. Dari pandangan gue, masih banyak kekurangan-kekurangan dari bapak-bapak Presiden ini yang masih harus dibenahi. Jadi, ga perlulah menjatuhkan calon capres lain dan gencar banget ngelakuin Black Campaign.


                Contohnya nih Prabowo. Gue suka sama dia. Tapi dia ga suka gue. Eh. Oke, serius. Iya, jadi gue suka aja gitu sama Prabowo. Karakter tegasnya ituloh keliatan banget. Tapi, gue ga seneng sama calon Wapres-nya. Menurut gue, Pak Hatta ini... kok sedikit licik ya mukanya? *eh* ya gitu deh, kayak semua yang dia omongin itu kebalikan dari semua yang dia lakuin. Sebut saja gue sotoy. Tapi keliatannya begitu. Terus nih ya, gue ga suka sama pemilihan anggota-nya Prabowo. Yakali kalo dia menang, macam Rhoma-Irama bakal dijadiin menteri gitu? Nanti nama kabinetnya apa? Soneta gitu?


                Nah kalo Pak Jokowi ini.. sebenarnya gue setuju aja kalo dia jadi presiden. Bener, setuju. Karena menurut gue, dia adalah satu-satunya cahaya Indonesia untuk menjadi lebih baik. Tapi.. ada tapinya, bukan untuk saat ini. debut bapak Jokowi ini masih terlalu muda untuk menjadi seorang presiden. Kenapa dia ga benahin Jakarta dulu? Pak, banjir ini belum selesai loh. Apalagi macetnya. Saya sering stres kalo udah macet, Pak. Rasanya mau terjun aja dari Fly Over. Tapi, ga jadi. Masih sayang nyawa. Huehehe.


                Nah, harusnya Bapak itu benerin Jakarta dulu, Pak. Tuntasin semua masa jabatan Bapak. Bikin masalah-masalah  yang ada di Jakarta itu kelar dulu. Iya, saya ga meragukan bapak kok. Buktinya Bapak, udah terbukti jadi walikota terbaik di dunia kan? Tuh sampe masuk majalah Times juga lagi.


                Kalo diatas gue kritik Capresnya, sekarang gue mau kritik pendukungnya! *Pasang muka sebel*


                Ga ngerti sama keadaan Twitter yang lebih sering kebakaran akhir-akhir ini. sering banget panas. Banyak orang yang tadinya gatau apa-apa tentang politik, mendadak sok tahu. Oke, gue seneng. Itu akhirnya ada kemauan dari masyarakat untuk maju kan? Tapi.. yang sok tahu itu, bikin politik sendiri malah terlihat bodoh.


                Di media sosial macam Twitter,  saling menjatuhkan itu hal yang gampang. Apalagi nih ya, Judge orang itu enak. Sering kali kita melabeli seseorang dengan seenak kita tanpa tahu aslinya dia gimana. Contoh, ada orang yang sering banget buat status galau, terus serta merta kita pasti julukan dia tukang galau. Padahal belum tentu, dia aslinya galau. Malah orang yang kayak gitu cenderung punya pribadi yang berkebalikan dengan yang sering ditonjolin di dunia maya. Nah jadi, kalo ada yang tweet tentang politik dan merasa tahu segalanya, jangan anggap dia pintar, bisa aja kan kebalikannya kalo dia... ahsudahlah.


                Terus yang bikin bete lagi, Selebtweet yang gue follow buat sekedar gue ketawa-ketawa dan hilangin penat, mendadak ikutan promo para Capres. Ahelah, terus apalagi yang gue dapet dari twitter? Padahal gue buka twitter Cuma buat ketawa-ketawa gara-gara tweet lucu. Atau sekedar baca-baca motivasi. Bukan malah ngeliat orang pacaran yang kalo ngobrol pake RT-Rtan, atau kode kode yang bertebaran, atau apapun yang bikin mata gue sepet.


                Jadi, semoga pemilu 9 juli ini menjadi pemilu yang bersih ya. Gausahlah jelek jelekin lagi orang orang itu. Oh iya, untuk yang punya beda pendapat sama temennya, mudah-mudahan kalo pemilu bubar, temenan kalian juga ga ikutan bubar.


Perihal gue mau milih siapa tanggal 9 juli itu masih binggung sih.


Tapi aku sih maunya pilih kamuu..


Iya, kamuuu


I love you!



Hahaha #Maafin

Minggu, 06 Juli 2014

Unrequited Love [Short Story]



Bagaimana rasanya tidak terlihat?

                     Aku menghela nafas panjang dan berkali-kali. Berusaha mengurangi rasa sesak di hati. Mati-matian aku menahan air mata yang ingin meluncur turun. Tapi rasanya, aku tidak bisa.

                     Rasanya masih sakit. Sesak. Aku bahkan merasa aku tidak bisa bernafas saat ini. Sepertinya, semua oksigen mendadak lenyap dari bumi. Kenapa bisa begini?

                     Aku melemparkan pandangan keluar jendela. Menatap bangunan-bangunan rumah yang terlihat mengecil dari ketinggian. Iya, aku sedang berada di lantai 7 di fakultasku. Hari ini memang libur, dan aku menerobos masuk ke lantai 7 secara mengendap-ngendap. Sukses!

                     Jangan tanya kenapa aku berada disini sekarang. Aku hanya.. butuh tempat sendiri. Tempat dimana aku bisa berfikir ulang tentang semua yang aku lakukan. Duniaku terlalu ramai. Tapi biar begitu, rasanya masih sepi. Bahkan aku mengakui kalo ini terlalu sepi. Mereka semua ada saat mereka membutuhkanku. Tapi saat aku membutuhkan mereka.. ya kamu tahu sendirilah.

                     Dan menurutku, lantai 7 fakultas ini menjadi tempat favorite kedua setelah danau. Aku sangat suka berada di danau. Rasanya tenang. Melihat air bergerak pelan. Tapi mana mungkin aku berkunjung kesana saat libur begini? Bisa-bisa acara menyendiri ini menjadi tidak menarik.

                     Aku kembali menghela nafas ketika angin berhembus mengenai wajahku. Rasanya, jika sendiri seperti ini, aku benar-benar menyedihkan. Seperti tak ada tempat untukku berpegangan. Aku ingin berteriak dari lantai 7 ini. Tapi jika itu kulakukan.. aku akan ketauan satpam.

                     Oh iya. Apa kamu pernah menyukai seseorang?

                     Apa kamu pernah menyukai seseorang sampai.. rasanya kamu sanggup menanggung semua rasa sakit yang diakibatkan olehnya? Apa kamu pernah merasakan menyukai seseorang sampai kamu rasanya ingin terus selau melihat dia bahagia walau tak bersama kamu? Apa kamu pernah menyukai seseorang, walau hanya melihat punggungnya dari kejauhan itu sudah cukup?

Apa pernah?

Aku merasakannya sekarang.

                     Merasakan bagaimana rasanya melihat dia yang walau hanya punggungnya saja bisa membuatku bahagia. Merasakan bagaimana suara langkahnya saja membuat jantungku berpindah. Yah, seperti itulah.

                     Jangan berfikir ini kisah yang menyenangkan. Tidak. Justru sebaliknya.

                     Aku fikir, awalnya ini hanya sebuah rasa penasaran. Penasaran akan sosoknya yang menurutku terlihat baik. Dia mempunyai aura yang berbeda dengan semua orang yang aku lihat. Aura teduh. Iya. Karena setiap aku melihatnya, rasanya semua emosiku sirna. Dia bisa menenangkanku secara tidak langsung hanya karena menatapnya. Hebat kan?

Tapi satu masalahnya..

Ketika aku sadar ini bukan rasa penasaran lagi..

Dan saat sadar, dia tak mungkin dimiliki.

                     Sedih memang. Tapi.. rasanya.. aku bahkan tak bisa mendeksripsikannya. Ini seperti kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai dan tak peduli apa balasan yang kamu dapatkan. Selama kamu senang, maka itu akan baik-bak saja. Iya, seperti itu.

“Kenapa lo ga lupain aja elah.” Sheryl bertanya sambil memandangku. Sementara aku yang 
sedang meminum es teh manis, tersedak sedikit lalu cepat-cepat menepuk dadaku sendiri.

“Apa maksudnya?”

“Iya. Elo lupain itu Ka Axel. Ga capek?”

“HAHAHA. Ngga ah. Gue kan maunya ama dia.” Ucapku ngawur.

“Tapi pertanyaannya, emangnya dia mau sama lo?”

Jleb.

Saat itu aku memang hanya tertawa. Menganggap itu sebuah lelucon belaka. Tapi tanpa sadar hatiku membenarkan semuanya. Rasanya, aku terlalu memaksakan. Memaksa diriku sendiri lebih 
tepatnya.

Tapi.. melupakan tak bisa semudah itu kan?

                     Jangan dikira, aku tak mencoba. Berapa kali-pun aku mencoba, berapa kali itu juga 
aku gagal. Iya. Sebel ga sih? Saat udah niat ngelupain, ada aja kejadian yang bikin runtuh. Bikin tembok yang udah dibangun dengan susah payah itu hancur dalam sekali tendang.
Iya. Contohnya saat disapa.

                     Entah mimpi apa aku semalem, tapi pagi ini aku ngerasa sial. Udah kelewat sholat subuh, aku dapet parkiran jauh dari fakultas. Ya intinya sih aku kesiangan.

                     Saat itu aku mengendap-endap masuk pintu fakultas. Seperti maling, aku tengok kanan kiri dulu sebelum masuk. Memastikan bahwa sosoknya tak ada dimanapun.

“Aman!” sambutku girang lalu berjalan ke arah lift dengan santai dan menunggu di depan pintu 
lift yang sedang bergerak turun.

Dan saat itulah sosoknya masuk. Seperti radar, aku langsung refleks menengok ke arahnya. 
Mulutku menganga sempurna. Ini kacau!

“Naik lift sebelah sana aja gih!” gumamku dalam hati. aku merutuk. Kenapa lift ini lama banget sih turunnya?!

Tanpa sadar, aku melirik lagi. Dan melihatnya berjalan ke arah lift di sisi aku menunggu.

Oh, tidak. Ini buruk. Kiamat sudah..

                     Aku meremas-remas jemari tanganku. Gugup. Berharap tembok yang aku bangun tak lagi runtuh. Kurasakan dia berdiri di belakangku. Ah sial!

“Mata kuliah apa El?”

Tunggu! Itu suaranya? Dia menanyaiku ya?

                     Otomatis aku memutar tubuh, lalu tersenyum canggung. Masa iya sih aku mau pura-pura tak mendengarnya padahal ia sudah bertanya padaku? Oh, Bumi. Tolong telan aku!

                     Sesaat pikiranku kosong. Aku mata kuliah apasih hari ini? Ya tuhan! Kenapa aku malah terlihat ngga banget di depannya. Ampuni hamba.

“Ngg.. emm.. itu, Ka, ngg.. Bahasa indonesia. Hehe.”

Jawaban bodoh.

Dia manggut manggut sebentar, “Dosennya siapa? Bu Gina yah?”

Mampus! Siapa lagi Bu Gina?

“Hah? Oh bukan ka. Bu Jean yang ngajar. Hehehe.”

“Loh bukan bu Gea ya?”

Aku menggeleng. Masih berusaha tersenyum. Rasanya aku ingin lari. Kapan ini berakhir sih?

                     Beruntungnya saat itu temannya datang dan pintu lift mendadak terbuka. Bingo!


+++

                     Kejadiannya memang sudah lama. Tapi aku masih mengingat kala aku tersenyum sepanjang lorong sampai kelas. Dan dengan lancarnya menceritakan dengan teman-temanku.

“Jadi elo disapa? Wuaah!” Temanku hampir berteriak. Membuatku terpaksa membekap mulutnya.

“Toa banget sih!”

“Eh tapi, El. Kalo dia nyapa elo pake nama berarti dia kenal elo ya?”

“Gue aja ga nyangka. Gila.” Jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

 “Berarti kalo gitu.. jangan jangan dia udah tau perasaan lo?”

Tunggu..

Benar juga!

“Eh iya ya? Ah gilagila inimah gue mati. Aaakk mamaaah!”

                Begitulah. Dan akhirnya tembok itu hancur lagi.

                Tapi masalah berikutnya, sepertinya ini akan menjadi perasaan yang bertepuk sebelah tangan.

                Aku tak menyalahkannya sungguh. Ini kan salahku sendiri. Aku sadar, kalau ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan dan aku tetap melakukannya. Jadi ini bukan salahnya kan?

                Aku yang terlalu berharap. Aku yang terlalu melangkah terlalu jauh.

                Tadinya aku fikir, ini tak menyakitkan lagi jika tak dirasakan. Tapi tidak, ini tetap 
menyakitkan. Seberapa tulus-pun aku melakukannya. Ini tetap menyakitkan.

                Saat kamu selalu memandangnya tapi dia tak pernah melihat ke arahmu. Saat kamu 
menjadi tak terlihat di sekitarnya. Saat kamu seperti kerikil yang menghalangi jalannya.

                Menyakitkan kan?

                Rasanya lelah berjalan sendirian. Rasanya tak ada gunanya lagi untuk sekedar menunggu. Toh percuma saja kan? Semuanya akan tetap seperti ini. Tak berubah.

                Jadi buat apa aku repot-repot untuk tetap berdiri disisi ini? disisi dimana aku selalu memandangnya tapi dia tak pernah memandangku balik?



Di sisi, dimana aku tahu semua ini tak kan berbalas seberapun aku mencoba.

Jumat, 04 Juli 2014

Let Her Go [Short Story]






Karena bagian terberatnya adalah merelakan.

                Udah setengah jam gue masih duduk di bangku taman yang mulai lembab. Hari udah mulai gelap, dan gue sama sekali belum ngerasa kedinginan. Padahal tadi habis hujan. Dengan kasar gue mengusap muka berkali-kali lalu mengacak-acak rambut frustasi. Bingung. Gue bingung.

Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
‘cause love comes slow and it goes so fast.

                Gue mendongakkan kepala ke langit. Ini mendung. Dan ga satupun bintang kelihatan. Padahal, Cuma bintang yang bisa buat gue tenang.  Sepertinya langit juga berpihak sama gue. Seakan tahu, kalo gue disini lagi kehilangan.

                Kadang suka iri ga sama anak kecil? Gue iya. Gue iri saat ngeliat mereka dengan enaknya Cuma main, makan, tidur, nangis, berantem, dan segala kegiatan lain yang menurut gue asik. Mereka ga dipusingkan oleh masalah kuliah, sekolah, temen, biaya, ataupun hati. iya, hati.

                Hati gue saat ini lagi terluka. Pernah denger istilah ‘Waktu pasti menyembuhkan?’ iya itu. Gue percaya sih. Tapi anehnya, udah tiga bulan semenjak kejadian itu, gue bahkan belum bisa lupa dengan apapun. Ah, ternyata waktu juga bisa php.

                Gue menghela nafas lagi. Rasanya, kalo bisa, gue pengen banget ilang ingatan. Ngilangin semua kenangan gue sama dia. Ilangin rasa sakit hati yang dia buat. Ilangin segala apapun tentang dia.

                Iya. Dia. Dia yang udah kayak separuh nafas gue. Dia yang jika hilang, maka gue gak akan bisa bernafas dengan benar. Dia yang menempati sebagian hati gue sejak tiga tahun yang lalu. Dia yang membuat semua kenangan yang tersimpan di bagian paling spesial di otak gue. Dia yang jadi segalanya untuk gue. Tapi.. dulu.

Kapan sih lo ngerelain dia, Nan?

                Gue menutup mata. Ah, lagi lagi pertanyaan itu. Pertanyaan yang sering diajukan otak ke hati gue. Gue menarik nafas dalam. Ternyata begini rasanya ditinggalkan sama orang yang paling lo sayangi. Nyeri.

                Dunia gue rasanya seperti terlepas dari porosnya saat dia minta kita berhenti. Saat punggungnya berbalik membelakangi gue, gue sadar, saat itu, apa yang gue perjuangkan selama tiga tahun akhirnya berakhir. Gue ga lagi bisa memperjuangkan dia lagi.

Karena dia sudah diperjuangkan orang lain.

Gue masih ingat kata-katanya saat itu. Kata-kata terpahit yang pernah gue dengar.

“Nan, kayaknya kita... udah gabisa jalan sama-sama lagi.” Dia tersenyum saat itu. Matanya menyiratkan kesedihan, tetapi tersirat sedikit kelegaan disana.

“Kenapa?” Gue bertanya dengan suara yang tertahan.

“Ada beberapa hal yang udah gabisa kita toleransi lagi.”

“Tapi kita masih bisa perbaikin kan, Cha?”

Dia menggeleng, “Nggak bisa, Keenan. Nggak bisa..”

Saat itu, gue hanya bisa memandang matanya. Sedih rasanya saat kita percaya kita bisa, tapi dia justru sebaliknya. Dia bilang, kalo dia gak bisa lagi berjalan beriringan. Lalu, dibawa kemana kenangan yang kita buat selama tiga tahun belakangan? Apa masih berarti dimatanya? Apa masih ada artinya?

Apa dia masih inget kayak gue inget semua kenangan tentang dia?

**

                Gue melirik jam tangan. Beberapa menit lagi, kami akan merayakan Anniversary yang ke 3 tahun 3 bulan. Iya, kalo dia masih sama gue. Nyatanya, gue akan ngerayain ini sendirian. Masih sendirian di taman, gue kembali melihat langit.

“Kenapa gue baru tahu kalo merelakan gak akan semudah ini?” Gue bergumam sendiri. Bertanya pada angin yang lewat. Membiarkan pertanyaan itu hilang dengan sendirinya.

Gue melirik kembali jam tangan hitam gue. 3 detik lagi, dan gue mulai menghitung mundur.

3..

2..

1..

Lantunan lagu Let Her Go dari Passenger terdengar dari handphone. Gue mengambil hape lalu kemudian tersedak sendiri. Namanya muncul dalam ID panggilan.

Halo, Keenan?” Dia menyapa. Gue baru sadar, betapa gue rindu suara ini.

“Ya. Halo, Cha. Kenapa?”

Nan. Selamat tanggal 1 ya. Selamat 3 tahun 3 bulan.”

Deg. Dia ingat..

Nan..” Dia menghela nafasnya sebentar, “Aku minta maaf ya sama kamu. Aku mau minta maaf untuk 
semuanya.”

“Aku minta maaf kalo aku bikin kamu sakit hati. aku minta maaf udah kecewain kamu.”

 “Aku minta maaf kalo aku...”

Cha, kamu bahagia?” Gue memotong ucapannya. Mata gue terpejam. Rasanya menusuk. Perih.

“Eh? Apa Nan?” Dia bertanya ragu-ragu,

“Aku tanya. Kamu bahagia sama dia?” Gue menelan ludah. Rasanya tenggorokan gue kering. “Lebih bahagia daripada kamu sama aku?”

Samar-samar aku mendengarnya menghela nafas berat.

“Jawab aja, Cha. Aku gapapa.” Gue  memaksakan diri untuk tertawa. Tawa pahit.

“Iya, Nan. Aku... bahagia sama Rendy. Lebih bahagia sekarang..”

Gue menghirup nafas dalam-dalam. Menyedot semua oksigen di sekitar. Memastikan kalo gue masih bisa bernafas.

“Oke kalau begitu.” Gue membuka mata, “Aku.. relain kamu, Cha.”

“Nan..”

“Aku relain kamu, Cha.” Ulang gue sambil tersenyum, “Aku kira, tiga bulan waktu yang cukup untuk membuktikan apa kamu bahagia atau ngga. Seandainya kamu tadi jawab kamu ga bahagia. Aku.. siap 
ngerebut kamu lagi.”

“Keenan..”

“Tunggu, Cha. Aku belum selesai.” Gue menarik nafas lagi, “Tapi diluar dugaan. Kamu malah bilang kamu lebih bahagia dibanding saat bersama aku. Terus aku sekarang harus apa, Cha? Hahah. Seandainya kamu bilang nggak bahagia tadi, mungkin aku sekarang udah ada di rumah kamu. Nembak kamu lagi kayak tiga tahun lalu.”

Iya, seandainya...

“Cha, baik baik yah. Selamat 3 tahun tiga bulan juga.”

Setelahnya gue langsung menekan ikon merah dan mematikan handphone. Gue menghela nafas. Lalu menghembuskannya pelan-pelan. Gue, bener-bener harus merelakan dia.

Walau hati gue ga yakin, gue bisa.


***

Selasa, 24 Juni 2014

Sendiri = Ngenes?


Sendiri dan kesendirian..

"Eh lo lagi sendirian aja ya sekarang? dih kasian banget sih lo! HAHAHA"

pernah denger?

Gue sering.

Entah kenapa, kurang sreg aja kalo kesendirian identik dengan kata 'kasian' dan 'ngenes'. Hey! Wake up lah. udah bukan jamnnya kalo kesendirian seseorang itu dijadiin bahan buat nyerang orang itu.

Mungkin, sebagian orang berfikir kalo kesendirian itu berarti menyedihkan. Sendirian berarti kesepian. Sendirian berarti mengenaskan.

Oke. Gue pun ga menyalahkan tentang anggapan-anggapan itu.

Tapi, coba kita liat dari perspektif yang berbeda. Dari sudut pandang lain yang ga pernah mau lo liat.

Menurut gue pribadi, sendiri itu memang sepi. Iya, sepi. Gue mengakui itu. Tapi bukan karena sepi itu kita jadi haus perhatian dan jadi menyedihkan. Justru, dengan sepi yang diciptakan itu kita membuat sebuah perubahan.

Mungkin kalau difikir, kesendirian itu banyak untungnya. sendiri membuat kita intropeksi.

Pernah liat orang pacaran?

Menurut gue lagi, sebagian orang pacaran akan selalu memikirkan pasangannya mau nggak mau. dan jarang untuk memikirkan dirinya sendiri. Kadang, tanpa kita sadari, kita memang butuh waktu sendiri.Waktu dimana hanya kita yang tahu gimana perasaan kita sebenarnya. Waktu dimana kita melepas topeng kita masing-masing. Waktu dimana senyuman yang biasa lo tunjukin kepada orang-orang berubah menjadi tangisan.

Waktu dimana hati yang berbicara dan logika hanya diam.

Waktu dimana kita egois terhadap diri sendiri.

Waktu dimana perasaan kita dihargai.

Dan waktu dimana hanya kita dan Tuhan yang tahu semua apa yang kita rasain.

Kesendirian juga berarti Tuhan lagi mencoba ngasih kita waktu untuk semua hal yang kita sukai. Lagi-lagi gue akan membandingkan dengan orang yang berdua. Hehe.

Sekali lagi, pernah liat ga orang yang pacaran, terus si cewek marah-marah gara-gara si cowok nonton bola dan ga ngabarin dia? atau si cowok kebablasan futsal sama temennya sampe malem?

Yap! dia membatasi kebebasan.

Kesendirian berarti kita bebas. Bebas ngelakuin hal yang kita mau. Bebas nyari pengalaman baru. Bebas nyari cerita baru. Bebas memperbaiki diri jadi pribadi baru.

Sadar atau nggak, kita terlalu ribet dan dipusingkan dengan kesibukan, yang membuat kita stuck jadi pribadi yang gitu gitu aja.

Statis dan ga ada perubahan.

Ada masanya, kita akan rindu untuk berdua lagi. Berdua memang lebih baik. Tapi lebih baik lagi sih, Sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dulu baru berdua. iya kan?