Selasa, 08 Desember 2015

Rain.



Konon katanya, ketika hujan akan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu. Tapi  mungkin lebih tepatnya, itu bagaikan mesin waktu yang membawa kita kembali ke masa lalu.
**
                “Yah, hujan lagi.”
                Aku mendesis lalu refleks mengangkat tanganku menghindar i tetesan hujan. Dengan langkah yang dipercepat, aku berjalan menuju halte terdekat.
                Kosong. Haltenya, kosong. Begitu sampai aku langsung menepi. Duduk pada bangku yang disediakan, dan menatap kosong pada tetesan hujan yang semakin deras. Aku menghembuskan nafas yang segera menjadi asap putih begitu keluar dari mulutku. Seperti di musim salju!
                Aku merapatkan cardigan warna peach lembut yang membalut seragamku. Selanjutnya, yang kudengar, hanya hembusan nafasku yang semakin berat.  Aku menyadarinya. Ini selalu terjadi ketika hujan turun.
                Bagiku, hujan selalu membawaku melintasi masa lalu. Hujan selalu mengingatkanku tentang dia. Dia yang sangat menyukai hujan. Dia yang suka mencium aroma sebelum hujan. Tunggu, apa sebutannya? Oh iya! Petrichor.
                Kakiku kutarik ke dalam. Menghindari tetesan hujan yang akan mengotori sepatuku.
++
                “Gue ga suka hujan!” Aku berkata sambil menatap laki-laki di depanku. Seragamnya sudah basah semua. Masih dengan senyum yang mengembang, dia bertanya dengan sedikit berteriak.
                “Kenapaa!?”
                “Kalo kena hujan, gue suka sakit flu. Gue ga suka. Err!”
                “Dasar manja!” dia mencibir. Lalu segera berlari menuju lapangan bola dimana semua anak laki-laki berkumpul dan menunggunya. Aku mengamati punggungnya hingga  menjauh. Lalu kembali duduk dengan tenang di bangku yang tersedia sepanjang koridor. Kembali membaca novel yang kupinjam dari perpustakaan dua hari lalu.
                “Wil!”
                Aku mendongak, lalu melihatnya melambaikan tangan dari tengah lapangan. Menatapnya dengan pandangan-apaan-sih-lo.
                Dia tersenyum lagi, “Kapan-kapan lo harus nyobain main di tengah hujan!!” dia berteriak lagi lalu mendorong Resa yang sedang lewat dan menghalangi pandangannya.
                “NO THANKS!!” aku balas berteriak.
++
                Aku mengguncang-guncang kakiku. Suasana semakin dingin. Aku merapatkan cardiganku lagi. Mengingatnya, membuatku merasakan dua sensasi bersamaan. Menyenangkan...sekaligus menyakitkan.
                Ah sesak juga, hatiku menambahkan. Aku hanya tersenyum kecil ketika mendengar suara-suara itu memenuhi pikiranku.  Aku kembali melihat hujan. Kenapa kenangan tentangnya selalu bertepatan saat hari sedang hujan, sih?
++
                “Mendung lagi.” Dia bergumam lalu menoleh menatapku, “Lo bawa payung?”
                Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Lalu mengalihkan pandangan pada langit yang semakin menggelap. Ah, iya. Ini kan musim hujan. Kenapa aku bisa lupa bawa payung sih?
                “Kalo nanti ujan gimana?”
                Kini giliran aku yang menatapnya, “Ya neduh lah.” Jawabku santai.
                “Bukannya lo les hari ini?” dia bertanya, membuatku menepuk kening karena lupa. Aku menatap jam tanganku dan menyadari hari sudah lumayan sore. Kalau tidak  pulang sekarang, kemungkinan aku akan terlambat les.
                “Pulang sekarang gimana?” tanyaku meminta pendapat, “kalo nggak gue bakal telat.”
                Dia mengangguk lalu mulai melangkah. Aku mengikutinya dari belakang. Menatap punggungnya seperti ini memberiku kenyamanan. Dia, tanpa diminta selalu membantuku. Mengulurkan tangannya setiap waktu. Dia, seperti menjagaku dengan seluruh kemampuannya. Aku tersenyum lalu mulai mengucap syukur dalam hati. Berterima kasih karena telah dipertemukan orang seperti dia.
                Tes..
                Aku mendongak keatas dan mendapati tetes tetes air itu mulai turun membasahi wajahku. Panik, aku menarik dia untuk segera berlari.
                “Heh! Cepet dong jalannya! Ujan nih!!” Aku berteriak padanya, sementara dia malah asik menengadahkan wajahnya keatas, membiarkan hujan jatuh.
                “Lo kenapa sih takut banget ama ujan!?” dia menghampiriku lalu mulai menarik tas yang menutupi kepalaku, “Coba rasain!”
                Tadinya aku berteriak dan mulai panik ketika baju seragamku mulai basah. Tapi lama-kelamaan, hey! Ini tidak terlalu buruk yah.aku mulai merasakan sensasi ketika tetes-tetes air itu semakin deras jatuh di tubuhku. Semacam kesenangan yang hanya bisa aku nikmati saat ini.
                “Ga buruk kan?” dia bertanya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum.
+++
                Mengingat saat itu membuat aku mau tak mau tersenyum di saat perasaan sesak itu semakin kuat menghantam hatiku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menghirup aroma petrichor  dari tanah disekitarku.
                Aku mulai berdiri, dan perlahan berjalan keluar dar halte menerobos hujan. Kali ini aku tidak berlari. Aku berdiri di tengah hujan tepat saat kenangan paling menyakitkan itu hadir memenuhi kepalaku. Saat dia tiba-tiba menghilang. Saat aku mengikuti jejaknya dan tak pernah sampai. Saat semua itu membuatku menyerah dengan keadaan.
+++
                Seminggu setelahnya, dia tak pernah masuk sekolah. Jejaknya hilang. Benar-benar hilang. Aku bahkan tidak mengerti mencari kemana lagi. Saat akhirnya aku menemukan kabar tentangnya.
                Aku berlari di lorong rumah sakit. Mencari ruang dimana dia berada. Begitu kutemukan, aku langsung membuka pintunya. Dan melihatnya tengah berbaring di ranjang. Wajahnya pucat, dengan beberapa selang menempel pada tubuhnya.
                Aku melangkah mendekat, lalu perlahan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Dia membuka mata, lalu sedikit terkejut melihatku ada disana.
                “Wilda,” panggilnya lemah, “Kok lo disini?”
                “Kenapa lo ga bilang?” aku bertanya parau. Antara ingin marah, tapi juga khawatir.
                Dia tersenyum tipis, “Gue ga mau nyusahin orang.”
                “Bahkan dengan gue lo gamau kasih kabar?”
                Dia mengangguk, “Lo adalah satu-satunya orang yang gamau gue kasih tau tentang keadaan gue.”
                Aku menatapnya marah, “Kenapa!?”
                Dia tersenyum lagi. Tapi memilih bungkam. Sekilas, tatapannya beralih keluar jendela, “Sebentar lagi hujan.”
                Aku mengernyit, lalu tatapannya beralih padaku. “Lo ga percaya?”tanyanya.
                “Gue bisa mencium bau petrichor. Akhirnya, gue bisa tenang.”
                Aku mengernyit lagi, lalu menepuk pelan tangannya, “Cepet sembuh, Van.” Aku nyengir, “biar kita bisa main hujan lagi.”
                Revan tersenyum, “Lo nanti main hujannya sama yang lain.”
                “Kok gitu?”
                Revan menatapku, “Iya. Nanti lo cari yang kayak gue yah. Tapi jangan sampe ada yang bisa gantiin gue.”
                Aku tertawa, “Ga ada yang bisa gantiin lo disini.” Aku menunjuk hatiku, lalu tertawa lagi.
                “Bagus lah kalo ga ada yang bisa gantiin gue di situ.” Dia tertawa kemudian tiba-tiba terdiam.
                Perlahan langit mulai menggelap. Sepertinya hujan akan turun persis seperti apa yang dikatan Revan.
                “Jaga diri baik-baik ya, Wil. Kayaknya gue gabisa nemenin lo lagi.”
                “Iya. Gue bisa jaga diri baik-baik.”
                “Gue ngantuk. Boleh tidur?”
                Aku mengangguk lalu mundur perlahan. Melihat Revan terlelap, membuatku takut. Seperti ada sesuatu yang pergi.
                Iseng, aku mulai mencolek-colek tangannya. Tapi Revan tetap diam. Panik, aku mulai mencubit tangannya. Biasanya Revan akan berlari begitu aku mencubitnya. Tapi sekarang Revan bahkan sama sekali tidak bergerak. Air mataku mulai mengalir, aku memencet tombol dan berteriak memanggil dokter sekeras mungkin. Aku mengenggam tangannya. Lalu mulai menangis tidak karuan.
                “Van!” aku memanggilnya lirih, “Van! Bangun. Van, sekarang hujan. Van, ayo kita main, Van bangun,Van!!”
                “Van, sekarang gue udah ga takut sam hujan, Van tolong bangun. Van, kok lo tega?”
                Aku meracau. Putus asa.
+++

                Mengingatnya lagi membuat perasaan itu kembali muncul. Aku menghapus air mata yang terjatuh bersama tetesan hujan. Andai waktu bisa diputar, andai pintu doraemon benar-benar nyata. Aku pasti  akan menyukai hujan lebih cepat. Lebih cepat sebelum Revan mengenalkannya padaku. Lebih cepat daripada itu. Agar aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu. Menciptakan kenangan yang ahitnya hanya bisa dikenang untuk diriku sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar