Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 07 Maret 2016

Pamit [Drabble]

          

            Tubuh saling bersandar

Ke arah mata angin berbeda

Kau menunggu datangnya malam

Saat kumenanti fajar.
**

“Ada yang harus kita omongin deh.”

Suaranya bergema dimalam yang ga terlalu ramai. Kali ini, baik aku ataupun dia tidak seperti biasanya. Kami hanya diam, sampai saat suaranya memecah keheningan.

“Kita udah ga cocok ya.”

Dia menghela nafas sebentar. Menjeda perkataan berikutnya. Sementara aku hanya mendengarkannya dengan pandangan tertunduk. Menggoyang-goyangkan kakiku dengan menyentuh rumput-rumput yang tumbuh dibawah bangku.

“Jalan kita udah beda, ya.” Aku akhirnya buka suara mendahuluinya. Mendongakkan kepala menatapnya. Tersenyum sebentar sebelum kembali menundukkan kepala.

“Iya.” Dia menyahuti. Lalu melingkarkan tangannya ke bahuku. Mengusap-usapnya pelan. “Terlalu banyak perdebatan antara kita. Dan aku ngerasa, yaudah. Kita gak bisa sama-sama lagi. Susah juga untuk bertahan. Kamu sama aku juga udah capek kan.”

Aku mengangguk. Menyadari semua yang kami lakukan pada akhirnya sia-sia. Perdebatan hebat kemarin menjadi puncaknya. Aku menyadarinya. Jalan kami memang sudah berbeda. Aku ataupun dia tidak bisa lagi mengalah untuk ikut ke salah satu jalan. Kami sudah sampai di persimpangan.

“Nggak ada yang akan berubah setelah kita selesai.” Dia menegaskan. Lalu mengusap puncak kepalaku pelan. “Yang berubah cuma status kita yang jadi mantan. Hehehe.”

Aku tertawa sedikit walaupun sebenarnya  air mataku berebutan untuk keluar. Tanganku bergerak cepat menyeka mataku sebelum air mata itu turun. Tidak mau dia melihatnya sekalipun.

“Yah, Jangan nangis.” Dia kembali mengusap kepalaku pelan. “Aku tetap jadi teman baik kamu. Percaya. Yang berubah, cuma kita ga saling memiliki lagi. Itu doang.”

Aku mengangguk lalu menatapnya. Dia tersenyum sebelum kembali mengusap kepalaku lalu bergerak memelukku. Menepuk-nepuk bahuku. Memberi semangat.

“Makasih udah ngasih aku kesempatan buat mengenal kamu lebih jauh. ”

***

Inspired by : tulus – Pamit.

Selasa, 08 Desember 2015

Rain.



Konon katanya, ketika hujan akan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu. Tapi  mungkin lebih tepatnya, itu bagaikan mesin waktu yang membawa kita kembali ke masa lalu.
**
                “Yah, hujan lagi.”
                Aku mendesis lalu refleks mengangkat tanganku menghindar i tetesan hujan. Dengan langkah yang dipercepat, aku berjalan menuju halte terdekat.
                Kosong. Haltenya, kosong. Begitu sampai aku langsung menepi. Duduk pada bangku yang disediakan, dan menatap kosong pada tetesan hujan yang semakin deras. Aku menghembuskan nafas yang segera menjadi asap putih begitu keluar dari mulutku. Seperti di musim salju!
                Aku merapatkan cardigan warna peach lembut yang membalut seragamku. Selanjutnya, yang kudengar, hanya hembusan nafasku yang semakin berat.  Aku menyadarinya. Ini selalu terjadi ketika hujan turun.
                Bagiku, hujan selalu membawaku melintasi masa lalu. Hujan selalu mengingatkanku tentang dia. Dia yang sangat menyukai hujan. Dia yang suka mencium aroma sebelum hujan. Tunggu, apa sebutannya? Oh iya! Petrichor.
                Kakiku kutarik ke dalam. Menghindari tetesan hujan yang akan mengotori sepatuku.
++
                “Gue ga suka hujan!” Aku berkata sambil menatap laki-laki di depanku. Seragamnya sudah basah semua. Masih dengan senyum yang mengembang, dia bertanya dengan sedikit berteriak.
                “Kenapaa!?”
                “Kalo kena hujan, gue suka sakit flu. Gue ga suka. Err!”
                “Dasar manja!” dia mencibir. Lalu segera berlari menuju lapangan bola dimana semua anak laki-laki berkumpul dan menunggunya. Aku mengamati punggungnya hingga  menjauh. Lalu kembali duduk dengan tenang di bangku yang tersedia sepanjang koridor. Kembali membaca novel yang kupinjam dari perpustakaan dua hari lalu.
                “Wil!”
                Aku mendongak, lalu melihatnya melambaikan tangan dari tengah lapangan. Menatapnya dengan pandangan-apaan-sih-lo.
                Dia tersenyum lagi, “Kapan-kapan lo harus nyobain main di tengah hujan!!” dia berteriak lagi lalu mendorong Resa yang sedang lewat dan menghalangi pandangannya.
                “NO THANKS!!” aku balas berteriak.
++
                Aku mengguncang-guncang kakiku. Suasana semakin dingin. Aku merapatkan cardiganku lagi. Mengingatnya, membuatku merasakan dua sensasi bersamaan. Menyenangkan...sekaligus menyakitkan.
                Ah sesak juga, hatiku menambahkan. Aku hanya tersenyum kecil ketika mendengar suara-suara itu memenuhi pikiranku.  Aku kembali melihat hujan. Kenapa kenangan tentangnya selalu bertepatan saat hari sedang hujan, sih?
++
                “Mendung lagi.” Dia bergumam lalu menoleh menatapku, “Lo bawa payung?”
                Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Lalu mengalihkan pandangan pada langit yang semakin menggelap. Ah, iya. Ini kan musim hujan. Kenapa aku bisa lupa bawa payung sih?
                “Kalo nanti ujan gimana?”
                Kini giliran aku yang menatapnya, “Ya neduh lah.” Jawabku santai.
                “Bukannya lo les hari ini?” dia bertanya, membuatku menepuk kening karena lupa. Aku menatap jam tanganku dan menyadari hari sudah lumayan sore. Kalau tidak  pulang sekarang, kemungkinan aku akan terlambat les.
                “Pulang sekarang gimana?” tanyaku meminta pendapat, “kalo nggak gue bakal telat.”
                Dia mengangguk lalu mulai melangkah. Aku mengikutinya dari belakang. Menatap punggungnya seperti ini memberiku kenyamanan. Dia, tanpa diminta selalu membantuku. Mengulurkan tangannya setiap waktu. Dia, seperti menjagaku dengan seluruh kemampuannya. Aku tersenyum lalu mulai mengucap syukur dalam hati. Berterima kasih karena telah dipertemukan orang seperti dia.
                Tes..
                Aku mendongak keatas dan mendapati tetes tetes air itu mulai turun membasahi wajahku. Panik, aku menarik dia untuk segera berlari.
                “Heh! Cepet dong jalannya! Ujan nih!!” Aku berteriak padanya, sementara dia malah asik menengadahkan wajahnya keatas, membiarkan hujan jatuh.
                “Lo kenapa sih takut banget ama ujan!?” dia menghampiriku lalu mulai menarik tas yang menutupi kepalaku, “Coba rasain!”
                Tadinya aku berteriak dan mulai panik ketika baju seragamku mulai basah. Tapi lama-kelamaan, hey! Ini tidak terlalu buruk yah.aku mulai merasakan sensasi ketika tetes-tetes air itu semakin deras jatuh di tubuhku. Semacam kesenangan yang hanya bisa aku nikmati saat ini.
                “Ga buruk kan?” dia bertanya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum.
+++
                Mengingat saat itu membuat aku mau tak mau tersenyum di saat perasaan sesak itu semakin kuat menghantam hatiku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menghirup aroma petrichor  dari tanah disekitarku.
                Aku mulai berdiri, dan perlahan berjalan keluar dar halte menerobos hujan. Kali ini aku tidak berlari. Aku berdiri di tengah hujan tepat saat kenangan paling menyakitkan itu hadir memenuhi kepalaku. Saat dia tiba-tiba menghilang. Saat aku mengikuti jejaknya dan tak pernah sampai. Saat semua itu membuatku menyerah dengan keadaan.
+++
                Seminggu setelahnya, dia tak pernah masuk sekolah. Jejaknya hilang. Benar-benar hilang. Aku bahkan tidak mengerti mencari kemana lagi. Saat akhirnya aku menemukan kabar tentangnya.
                Aku berlari di lorong rumah sakit. Mencari ruang dimana dia berada. Begitu kutemukan, aku langsung membuka pintunya. Dan melihatnya tengah berbaring di ranjang. Wajahnya pucat, dengan beberapa selang menempel pada tubuhnya.
                Aku melangkah mendekat, lalu perlahan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Dia membuka mata, lalu sedikit terkejut melihatku ada disana.
                “Wilda,” panggilnya lemah, “Kok lo disini?”
                “Kenapa lo ga bilang?” aku bertanya parau. Antara ingin marah, tapi juga khawatir.
                Dia tersenyum tipis, “Gue ga mau nyusahin orang.”
                “Bahkan dengan gue lo gamau kasih kabar?”
                Dia mengangguk, “Lo adalah satu-satunya orang yang gamau gue kasih tau tentang keadaan gue.”
                Aku menatapnya marah, “Kenapa!?”
                Dia tersenyum lagi. Tapi memilih bungkam. Sekilas, tatapannya beralih keluar jendela, “Sebentar lagi hujan.”
                Aku mengernyit, lalu tatapannya beralih padaku. “Lo ga percaya?”tanyanya.
                “Gue bisa mencium bau petrichor. Akhirnya, gue bisa tenang.”
                Aku mengernyit lagi, lalu menepuk pelan tangannya, “Cepet sembuh, Van.” Aku nyengir, “biar kita bisa main hujan lagi.”
                Revan tersenyum, “Lo nanti main hujannya sama yang lain.”
                “Kok gitu?”
                Revan menatapku, “Iya. Nanti lo cari yang kayak gue yah. Tapi jangan sampe ada yang bisa gantiin gue.”
                Aku tertawa, “Ga ada yang bisa gantiin lo disini.” Aku menunjuk hatiku, lalu tertawa lagi.
                “Bagus lah kalo ga ada yang bisa gantiin gue di situ.” Dia tertawa kemudian tiba-tiba terdiam.
                Perlahan langit mulai menggelap. Sepertinya hujan akan turun persis seperti apa yang dikatan Revan.
                “Jaga diri baik-baik ya, Wil. Kayaknya gue gabisa nemenin lo lagi.”
                “Iya. Gue bisa jaga diri baik-baik.”
                “Gue ngantuk. Boleh tidur?”
                Aku mengangguk lalu mundur perlahan. Melihat Revan terlelap, membuatku takut. Seperti ada sesuatu yang pergi.
                Iseng, aku mulai mencolek-colek tangannya. Tapi Revan tetap diam. Panik, aku mulai mencubit tangannya. Biasanya Revan akan berlari begitu aku mencubitnya. Tapi sekarang Revan bahkan sama sekali tidak bergerak. Air mataku mulai mengalir, aku memencet tombol dan berteriak memanggil dokter sekeras mungkin. Aku mengenggam tangannya. Lalu mulai menangis tidak karuan.
                “Van!” aku memanggilnya lirih, “Van! Bangun. Van, sekarang hujan. Van, ayo kita main, Van bangun,Van!!”
                “Van, sekarang gue udah ga takut sam hujan, Van tolong bangun. Van, kok lo tega?”
                Aku meracau. Putus asa.
+++

                Mengingatnya lagi membuat perasaan itu kembali muncul. Aku menghapus air mata yang terjatuh bersama tetesan hujan. Andai waktu bisa diputar, andai pintu doraemon benar-benar nyata. Aku pasti  akan menyukai hujan lebih cepat. Lebih cepat sebelum Revan mengenalkannya padaku. Lebih cepat daripada itu. Agar aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu. Menciptakan kenangan yang ahitnya hanya bisa dikenang untuk diriku sendiri.

Rabu, 14 Oktober 2015

-Untitled-




You were everything to me, and now you’re something to someone else.

-Kent Sujipto

+++

                “Gue gapapa.”

                Satu kalimat yang selalu dikeluarkan oleh dia yang matanya sudah berkaca-kaca. Aku mendengus. Lalu memilih mengalihkan pandangan ke arah taburan bintang pada kanvas hitam besar yang terbentang. Sesaat pikiranku melayang pada keseluruhan ceritanya yang nyaris sama denganku. Bukan, lebih tepatnya, memang sama.

                Kata penelitian sebuah psikologi, naksir seseorang hanya berlaku sampai 3 bulan. Selanjutnya, itu cinta. Aku tertawa hambar begitu membacanya. Lalu tersedak sendiri. Udah lama yah ternyata, batinku berbisik. Aku tertawa lagi. Kali ini lebih hambar daripada yang tadi. Entah apa yang aku tertawakan. Diriku yang menyedihkan, atau mungkin kisah ini yang terlalu pilu?

                Pada kenyataannya, mempertahankan perasaan tidaklah semudah itu. Banyak yang akhirnya hilang karena waktu. Banyak yang tergilas karena zaman, atau mungkin terkubur bersama kenangan.

+++

                Aku menepuk-nepuk bahunya pelan. Sekedar menyalurkan perasaan untuk tetap menguatkan. Iya, aku bahkan tak bisa memberi sepatah katapun untuk membuat dia bersemangat. Hanya “Lo harus tetep kuat, ya.” Yang bisa aku katakan. Sebaris kalimat tanpa arti. Kosong.

                Dia tersenyum lagi, “Iya.” Katanya. Aku ikut tersenyum. Lalu kembali menepuk-nepuk bahunya lagi—menguatkannya lagi. Rasanya, aku ingin sekali menyuruhnya menangis. Hanya sekedar mengeluarkan apa yang dia rasakan selama ini. Aku benci melihatnya tersenyum. Seolah-olah tidak terjadi apapun. Seolah-olah menunggu untuknya yang bahkan tidak melihatmu dan memilih orang lain itu bukanlah suatu masalah. Seolah-olah dia bahkan bisa menunggu lebih lama lagi.

Seolah-olah melihatnya bahagia bahkan bukan denganmu itu adalah hal lumrah.

Seolah-olah bahagianya adalah bahagiamu juga.

                Aku menarik nafas. Mengingat kisahnya seperti melihat aku dulu. Aku memjiat pelipisku pelan. Lalu menarik nafas lagi—kali ini lebih berat.

                Padahal sesungguhnya, menunggu dia yang tak pernah melihatmu bukanlah sesuatu yang mudah. Padahal, ketika melihatnya bahagia bukan denganmu bukanlah hal yang lumrah.

                Iya, karena sakit juga rasanya.

                Bahagianya itu bukanlah bahagiamu kan? Toh kamu akan merasakan hal kebalikannya. Toh kamu akan merasakan sakitnya. Bukan bahagianya. Jadi dikalimat mana bahagianya bahagiamu juga?
               
+++

There comes a time when you have to stop crossing oceans for people who wouldn’t jump puddles for you.
-Anonymous

“Gue Cuma ga nyangka aja, dia yang segitu deketnya sama gue bisa ngelakuin hal itu.” Tatapan matanya kembali sendu. “Padahal, kalo jujur gue pun ikhlas.”

Aku mengangguk mengiyakan. Saat kenyataan semakin nyata, kamu tak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Dan berdoa semoga itu adalah sesuatu yang paling baik untuk dia.

Pada akhirnya, hati punya batas menunggunya sendiri. Dan disaat sudah jenuh, ia akan mundur tanpa disuruh, dan akan mengalah tanpa diperintah.

Yang aku lihat, hatinya sudah diambang jenuh dan akan mengalah untuk hati lainnya. Iya. Aku melihatnya dengan jelas. Guratan lelah itu, hembusan nafas yang semakin berat itu menandakan dia akan menyerah. Menyerah untuk sebuah hati yang dia yakini akan dia miliki. Tetapi kenyataan tak memperbolehkan mimpi menempati ruangnya. Hingga akhirnya semuanya menjadi angan untuk diterbangkan.

Pada hati lainnya, dia menitipkan hatinya. Berdoa semoga dia yang kini menjadi angan selalu bahagia atas apa yang dipilihnya.  Dan aku menyadari satu hal.

Dia merelakannya.

Minggu, 13 September 2015

Untouchable. [Story]


My friends keep saying you’re untouchable. –Notice Me, David Archuleta.

+++

                Dia masih berdiri disana. Dengan setelan celana jeans hitam dan kaus yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di depan gue sambil menundukkan kepala.

                “Maafin gue,” katanya dengan suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak kepalanya.

                “Gapapa.”  Balas gue.

++++

                Nggak ada yang istimewa dari dia. Hanya seorang cewek yang mempunyai tinggi sebahu gue. Dia, ga ada lebihnya. Lebihnya hanya lengkung kecil di bibirnya yang selalu terpasang seperti sudah di-setting setiap hari. Lebihnya hanya pada derai tawanya yang besar walau dia perempuan. Lebihnya hanya pada suaranya yang selalu terdengar saat kami berpapasan dan dia memanggil nama gue dengan kencang atau sekedar menyapa, “Hai!”.

                Lebihnya dia hanya disitu. Gue pertama kenal dia dalam acara ospek jurusan. Jangan bayangkan dia adalah orang yang bersinar. Nggak. Bahkan waktu itu dia sama sekali ga menarik perhatian.

                Waktu membuat gue dekat dengan dia di berbagai kegiatan. Gue jadi terbiasa dengan suara tawanya yang khas itu. Terbiasa dengan muka polosnya yang percaya padahal dia sedang dibohongi habis-habisan. Terbiasa dengan muka kagetnya begitu dia tau faktanya dan berteriak kepada orang yang telah membohonginya dengan berbagai umpatan. Gue terbiasa.

                Sampai akhirnya perasaan itu datang. Perasaan asing yang membuat gue nyaman atas kehadiran dia disisi gue. Saat bersamanya, gue bisa jadi diri gue. Gue bisa tertawa sepuas gue. Dekat dengannya, bahkan membuat gue ingin selalu tertawa atau sekedar tersenyum.

**

                “Lo suka dia? sumpah?”

                Gue mengangguk pasti. Tiwi, teman dekatnya menggeleng pelan. Merasa tidak percaya atas apa yang baru gue katakan.

                “Nggak ada yang lain apa?” Tiwi berdecak, “Lo tau kan dia anaknya susah buka hati?”

                “Gue tau.” Kata gue menjawab pertanyaan Tiwi.

                “Kalo lo tau, kenapa masih berani?”

                “Batu karang aja bakal kekikis juga sama ombak. Masa dia gabisa?”

                “Dengerin gue,” Tiwi menarik nafasnya, “Dia bahkan lebih batu dari karang. Kalo lo mau berjuang yaudah, sok. Cuma gue kasih tau, dia orangnya sesusah itu. Apalagi dia tau kalo ada yang suka sama lo juga sampe sebegitunya. Dia bakal gaenak lah. Dianggap makan temen bisa-bisa.”

                Gue ikut menghela nafas mendengar penuturan panjang Tiwi. Kepala gue berdenyut pelan.

                “Jadi gue harus gimana?”
**

                Gue tahu. Dibalik sifat ramahnya. Dibalik senyum yang seperti di setting, dan dibalik derai tawanya itu dia adalah sosok orang yang keras kepala. Dia adalah rumah yang lo bisa masukkin dengan gampangnya. Tapi hanya sampai gerbang. Gabisa sampai ruang tamu. Pintunya selalu tertutup. Gue tahu.

                 Dia mungkin terlihat bersahabat. Terlihat menerima lo dengan tangan terbuka. Tapi diantara itu, dia memasang batas. Batas dimana ketika lo berusaha melewatinya, dia akan berlaku sebaliknya. Dan dia akan menutup tangannya untuk lo.

                “Kenapa sih lo selalu begitu?” Gue memberanikan diri bertanya padanya.

                “Begitu gimana?”

                “Kalo dideketin orang, kesannya menolak.”

                Dia tertawa, “Emang iya? Nggak ah perasaan.” Katanya mengelak.

                Gue tertawa sebentar, “Iya. Lo emang begitu kok.”

                Dia masih terus memandang kedepan dengan sisa-sisa tawanya. “Kenapa sih orang butuh status?” Dia mulai bergumam, “Kenapa ga stay aja gitu tanpa status? Gabisa emang yah?”

                “Status ada buat buktiin kepemilikan.” Kata gue menjawab. Gue melihat dia mengangguk sebentar, lalu menyenderkan bahunya ke bangku.

                “Kenapa emang lo?”

                Dia menggeleng pelan, dan senyum itu mulai muncul lagi, “Gapapa. Hahaha. Baru-baru ini, ada yang pergi dari gue. Katanya gue ga buka hati.”

                “Makanya belajar buka hati.” Gue menimpali. “Kalo ada orang yang ngetok pintu itu dibuka. Jangan cuma didengerin dari dalam doang. Makanya  tamunya pergi deh.”

                Dia tertawa, “Gue buka hati kok.” Katanya lalu berdehem, “Tamunya aja ga sabaran. Gue kan lagi nyari kunci biar bisa buka pintunya.”

                Dia kemudian berdiri, membuat gue refleks ikut berdiri disampingnya. Ketika dia akan melengkah, gue menahan tangannya. Membuat dia berbalik dan memandang gue penuh tanya.

                “Kenapa?”

                “Lo bilang lo lagi buka hati kan?” tanya gue sambil terus menatapnya, “Kalo gue yang ngetuk pintunya, boleh?”

                Dia tertawa, “Hahaha. Apaan sih lo.”

                “Gue serius.” Perkataan gue membuat dia berhenti tertawa. Gue melanjutkan, “Kalo gue yang berusaha buat ngetuk pintunya, apa lo bakal nyari kunci buat buka juga? Atau lo bahkan ga berniat untuk buka pintunya?”

                Dia mundur satu langkah kebelakang. Membuat genggaman tangannya terputus dari gue. Memberi jarak.

                “Kalo lo yang ngetuk—“ Dia menarik nafas, “Gue cuma bisa denger lo dari dalam dan ga berniat nyari kunci buat lo bisa masuk ke dalam. Gue gabisa nyakitin hati orang.”

                Gue mengangguk. Mengerti ke arah mana yang dia maksud.

                “Lo nggak mau nyakitin Stella?”

                “Iya.” Dia mengangguk. “Gue tahu seberapa dalam perasaannya buat lo.”

                Gue menghela nafas. Dia masih berdiri disana. Dengan setelan celana jeans hitam dan kaus yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di depan gue sambil menundukkan kepala.

                “Maafin gue,” katanya dengan suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak kepalanya.

                “Gapapa.”  Balas gue.

                Kini gue melihat bahunya naik turun. Perlahan punggung tangannya mengusap cairan bening yang lolos dari matanya.

                “Gausah nangis. Hahaha.” Gue tertawa pelan, kenapa dia yang nangis? Padahal harusnya gue yang nangis karena udah ditolak abis-abisan bahkan sebelum nyoba.

                “Gue sedih.” Katanya. Berusaha terdengar biasa aja. Tetapi justru itu membuat gue semakin nyesek. “Gue ga mau nyakitin hati Stella. Tapi sekarang gue malah nyakitin hati lo juga.”

                Gue mengangguk mengerti, “Lo ga nyakitin hati gue kok.” Kata gue akhirnya menenangkan.

**
                Pada hari itu gue tahu kalo dia bahkan udah mengunci  gerbangnya dan ga membiarkan gue untuk masuk sedikitpun. Pada hari itu, kakinya, dan kaki gue memutuskan untuk berpisah di jalan yang emang berbeda.

                Pada hari itu sebelum kami benar-benar terpisah, dia berkata sambil tersenyum.

                “Coba sekali-kali liat siapa yang berdiri di belakang lo ya, Yo.  Karena dia mungkin satu-satunya orang yang paling tulus yang mau menunggu lo sampai berbalik. Dan orang itu pantes diperjuangin. Tapi orang itu, bukan gue.”


+++

Jumat, 21 Agustus 2015

Abu-Abu [Story]

Pergi tak selamanya sedih, karena bertahan tak selamanya indah.
--Anonymous

            Dia bagai langit saat menjelang hujan turun. Kelabu. Abu-abu. Tidak jelas dan tidak terdefinisi.

            Tidak tahu sejak kapan aku terus memperhatikan mata coklat itu setiap ia lewat. Menghafal gerakannya yang berjalan perlahan di tengah koridor yang sepi. Atau bahkan menghitung gerak kakinya berjalan hingga tak terlihat lagi dalam pandanganku.

            Tidak tahu sejak kapan, hujan selalu membawa satu memori tentangnya. Bau petrichor yang turun, warna langit yang kelabu, semua seperti dirinya. Abu-abu, tapi menenangkan.

            Dia bukan seseorang yang spesial. Bukan seseorang yang populer. Tapi, di dekatnya, semua orang bisa merasa nyaman. Senyaman saat lari di tengah hujan deras tanpa alas kaki.

            Entah sejak kapan tepatnya, namanya mulai muncul dalam setiap doa yang aku panjatkan pada Dzat yang menciptakan alam semesta. Namanya mulai kuselipkan setiap hari. Entah apa penyebabnya. Entah bagaimana caranya, dia berhasil menempati sebagian hati yang ku pegang erat-erat.

            Tapi entah bagaimana caranya lagi, dia adalah satu-satunya seseorang yang bisa membuat lubang di hatiku makin membesar. Hanya dengan mengingatnya, rasa sesak itu muncul dengan cepatnya. Hanya dia yang bisa membuat hatiku serasa jatuh ke dasar. Tidak bisa diselamatkan.

            “Dia udah pergi yah?”

            Aku mengangguk lalu menarik nafas dalam. “Iya.”

            “Terus perasaan lo?”

            Aku menunduk, memainkan daun kering ya terjatuh di kaki, “Ya lewat.” Aku menatap Sean, tersenyum. “Lewat aja kayak angin.”

            “Nzi.”

            “Gue gapapa.” Aku mengibaskan tangan. Berusaha terlihat baik-baik saja. “Cuma keinget sedikit kok.”

            “Kenapa ga lo coba ngomong?”

            “Beberapa orang dengan berani menyatakan, Sean. Beberapa lagi nggak. Hanya mampu dipendam tanpa berani bilang. Sampai orang itu pergi. Tetap dipendam. Gue tipe yang kedua.”

            Aku menarik nafas, “Lagian kan gue ga serius kali.”

            “Ga serius?” Sean mendelik, “Ga serius sampe nangis gitu?”

            Aku tertawa, “Waktu itu gue kelilipan kayaknya.”

            “Serius deh, Nzi.” Sean memutar matanya, “Gue tahu lo seserius itu sama perasaan lo ke anak itu. Jangan coba-coba bohong.”

            Aku berhenti tertawa. Lalu menenguk ludah.

            “Iya. Gue seserius itu kok.” Aku mengayunkan kaki, “Tapi ga seberani itu juga. Makanya dia lepas. Makanya perasaan gue lewat kayak angin. Makanya dia tetap gue anggap abu-abu.”

            “Kadang lo memang harus menempatkan dia di tempat yang tepat. Dia hanya cocok di tempat abu-abu bagi gue, Se. Bukan gamau berusaha. Bukan ga mau nyoba. Tapi karena dia memang cocok disana saat ini. Tanpa perlu gue utak-atik. Karena, ketika gue memutuskan untuk maju. Dia akan jelas.” Aku mengangkat kepala, “Tempatnya akan di hitam. Dan itu berarti gue harus berusaha lagi buat ngelupain dia setengah mati. Dia akan pergi dari gue, atau gue yang berusaha menghilangkan diri dari dia.”

            “Sama aja nyerah?”

            Aku menggeleng, “Gue cuma pergi. Ga nyerah. Gue pergi masih dengan membawa perasaan gue yang utuh. Karena ga ada kemungkinan untuk gue bertahan buat dia sekarang. Dia jauh, ga tergapai.” Aku tertawa, “Tapi gue janji, ketika gue ketemu dia lagi. Ketika jalan kami bersinggungan sekali lagi tanpa sengaja. Gue pasti bilang.”

            “Dia berhak tahu perasaan gue.”


            Aku tersenyum, “Dan gue berhak tau jawaban dia. Untuk memperjelas posisinya. Bukan di abu-abu lagi. Tapi di hitam atau di putih. Untuk terus di pertahankan, atau lebih baik dilupakan.”

Sean memutar matanya, “Apa bedanya dengan lo menjadikan dia jelas saat ini dengan nanti?”

            Aku menarik nafas, “Seenggaknya hati gue lebih siap kalo nanti, Se. Emang lo tau apa yang terjadi nanti? Kali aja pas nanti jalan gue bersinggungan lagi, gue udah ama yang lain kan?”

            Aku mengedipkan mata, “You never know what happen in the future.”

Sabtu, 01 Agustus 2015

About Us [Prolog]



“Setan emang lo!” suara lengkingan dari cewek yang pipinya lumayan berisi itu terdengar. Disusul dengan tawa membahana dari gadis lainnya.

“Lah kok setan sih? Emang gitu kenyataannya. Makanya jangan baper!” Nara masih terus memojokkan Nayla. Membuat gadis itu cemberut.

“Emang setan banget si Nara.” Nayla masih nggak terima. Dia merampas handphone Nara lalu membuka galeri. Meng scroll gambar-gambar yang ada disana.

“Ih! Ini kok gue banget siih!”

“Orang baper dasar!” Tasya ikut-ikutan sambil meneruskan kegiatannya. Penasaran, Tasya mengalihkan pandangannya dari slide, “Baca apaan sih dia?” tanyanya penasaran.

Nayla segera membacakan apa yang sedang dilihatnya, “Nih dengerin,” dia memberi jeda, “Aku dukung Jerman, kamu dukung Belanda. Aku suka beneran, eh kamu malah bercanda. Kan gue bangeet! Kampret emang si Nara nyimpen gambar beginian!”

Tasya ngakak sementara Nara mengangkat bahunya tak peduli. Jihan yang baru ikut bergabung merasa kebingungan.

“Guys.” Jihan meminta perhatian teman-temannya. “Gue deket sama cowok lagi!”

Mendengar perkataan Jihan, kompak ketiga gadis itu memutar matanya.

Here we go again.
***

                Ini bukan lingkaran pertemanan seperti FTV. Bukan lingkaran pertemanan yang diinginkan orang-orang pada umumnya. Percaya atau tidak, dalam lingkaran ini, semua orang saling berteriak. Saling mencela. Saling menyerang. Saling mnegejek. Sampai salah satu merasa kalah.

                Mungkin kalian akan melihat lingkaran pertemanan orang lain yang asik dengan segerombolan orang yang selalu bersama ketika pergi ke suatu tempat. Atau segerombol orang yang asik duduk di sudut sebuah kafe atau restoran sambil berbincang dan tertawa.

                Mungkin kalian juga akan melihat sebuah lingkaran pertemanan yang tercipta karena kesamaan hobi, kesamaan selera musik, kesamaan nasib, dan lain sebagainya. Tapi kami tercipta begitu saja. Berjalan seadanya. Bersama waktu yang terus bergulir, kami bertahan bersama.


                Friendship is not about whom you have known the longest; its about who came and never left your side.---unknown.

Jumat, 31 Juli 2015

Senja Masih Jingga.


Senja masih jingga. Dan aku masih tetap melihatmu dari balik punggung. Tak ada pergerakan  berarti antara kita. Lalu, aku lelah menanti sebuah harap tak pasti.
Kamu masih disana. Berdiri tanpa niat untuk sekedar menoleh ke belakang. Tanpa niat untuk melihat siapa yang berdiri di sana dengan tegarnya.
Aku berusaha untuk membirukan langit senja. Aku berusaha menari dengan kaki yang tak sempurna.  Berusaha menggapai angin. Lalu berusaha melukis awan.
Iya. Sia-sia.
Bahkan bayangmu saja tak dapat aku gapai. Lalu langkah kakimu tak dapat ku ikuti. Lalu, aku harus apa?
Membiarkan hujan menghapus jejak langkahmu dengan sendirinya?
atau angin menerbangkan semua harapku dengan sendirinya pula?
Jangan pernah berlari.
Karena bahkan aku tak bisa mengikutimu walau tertatih.
Karena sepertinya kita memang ada di jalan yang berbeda.
Lalu, untuk apa aku mengikuti jejakmu padahal ini bukan jalanku?
Untuk apa aku berusaha memhitamkan langit malam?
Atau berusaha menggapai bintang?
iya. Untukmu yang bayangnya saja kukagumi.
Aku sudah bosan mendengar semua yang orang katakan padaku
Tentang betapa bodohnya aku
Tentang bagaimana ini menjadi rumit dengan sendirinya
Tentang perasaanku yang tidak berkesudahan.
Lupakan.
Jika kau ingin mencari bintang, carilah.
Aku bahkan hanya bisa diam kan? Carilah.
Carilah bintang yang kamu inginkan.
Carilah bintang yang paling bersinar.
Carilah bintang itu, sampai akhirnya kamu kehilangan bulan.