Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 28 Maret 2014

When You Love Someone..





Ketika kamu Jatuh Cinta..

Dunia seakan lebih berwarna. Ga hanya satu warna, bahkan banyak warna. Semua kelihatan indah, keliatan lucu, keliatan bagus, keliatan ga ada cela, ga ada jeleknya.
Bahkan, sesuatu yang gak kamu suka jadi keliatan biasa aja, atau bahkan kamu ga keberatan untuk ngelakuinnya. Senang malah.

Ketika Kamu Jatuh Cinta..

Malam jadi semakin pendek, atau bahkan malam hanya sebagai pajangan yang bahkan tak kamu hiraukan keberadaannya. Karena kamu tahu, yang kamu harapkan, yang kamu nantikan, sebenarnya pagi. Saat mentari menampakkan sinarnya. Saat dia menunjukkan wujudnya. Dan saat dia bangun dari peraduannya.
Itu waktu yang paling kau rindukan kan? karena pada saat pagi, harapan itu kembali datang, dan muncul.

Ketika Kamu Jatuh Cinta..

Yang kamu ingat hanya dia. Dia yang berhasil merebut perhatianmu, dia yang berhasil menyentuh hatimu, dia yang menyita seluruh perhatianmu tanpa sisa. Dia yang duduk dengan pongahnya di tingkat teratas hatimu, dia yang berkeliaran tanpa henti di fikiranmu. Iya kan?

Ketika Kamu Jatuh Cinta..

Kamu menempatkan dia sebagai mataharimu. Kamu menjadikan dia sebagai semestamu, bumi-mu, tempat kamu berputar. Kamu menempatkan dia sebagai pusat dari segala emosimu, bahagiamu, kesedihanmu. Kamu anggap, bahagianya itu pasti bahagiamu juga. Dan, bahagiamu sudah pasti karena dia, walau belum pasti bahagiamu adalah bahagianya juga.

Ketika Kamu Jatuh Cinta..

Semuanya seakan menjadi hal yang wajar dan semestinya dilakukan. Kamu yang tersenyum saat melihat dia dari kejauhan. Kamu yang menanti derap langkahnya. Kamu yang benar-benar mengejar semua kesempatan untuk menemuinya. Kamu, yang dengan senangnya, menganggap kamu dan dia jodoh saat hal-hal kecil itu terjadi diantara kalian. Kamu, dengan segala kebodohanmu.

Tapi ketika kamu, benar-benar Mencintainya...

Semua terasa Ikhlas. Ketika dia yang kamu anggap sebagai semestamu itu tak meresponmu sedikitpun, kamu masih tetap menyukainya. Ketika dia yang jadi pusat segala bahagia dan sedihmu itu bahkan tak melihat ke arahmu sedikitpun, kamu masih dengan setianya menempatkan dia di atas hatimu tanpa berniat sedikitpun melengserkannya dari sana.

Bahkan ketika kamu tahu, bahwa semua perasaan dan rasamu itu berakhir sia-sia karena dia yang kamu anggap mataharimu itu tak membalas semua perasaanmu itu. Mungkin kamu kecewa. iya, memang. Tapi jika aku tanya satu hal tentang semua ujung perasaan ini: Apakah perasaan itu masih ada? coba lihat disana. di hatimu. Rasa itu memang kecewa, tapi tidak hilang. Cinta itu memang terluka, tapi tidak lenyap.

Karena sejatinya, Cinta dan perasaan itu adalah sebuah bentuk lain dari merelakan, merelakan yang memang seharusnya direlakan. Melepaskan, sesuatu yang memang bukan tercipta untuk ini. Tidak perduli berapa lama kamu mengejar dia, si Mataharimu. Tak perduli, seberapa kuatnya kamu menahan dia disana, Cinta akan menunjukkan jalan ajaibnya padamu.

Ketika kamu menyukai seseorang, sangat menyukai seseorang. Ketika ada seseorang yang mengasihinya, mencintainya. Maka kamu akan benar-benar dari hati yang paling dalam mendoakan dia, bahagia selamanya-- You're The Apple of My Eye.



Sabtu, 08 Maret 2014

Surat untuk Bintang



Aku menatap langit yang mulai menghitam. Bersama lampu yang cahayanya temaram, aku bersimpuh. Menyerah terhadap perjalanan ini. Menyerah terhadap apa yang selama ini kupendam sendiri. Menyerah terhadap keadaan.
            Aku lelah, Bintang.
            Aku lelah terhadap rasaku padamu. Maafkan, tapi aku benar-benar menyerah terhadap semuanya. Aku menyerah untuk mengingkari takdirku sendiri. Aku lelah berjalan memutar yang akhirnya, membuat semuanya tetap seperti ini tanpa berubah sedikitpun.
            Aku lelah, Bintang.
            Aku lelah menyimpan semua ini sendiri. Aku lelah mempertahankanmu untuk menjadi yang paling atas di hatiku. Aku letih jika harus menelan pil pahit itu berkali-kali. Aku.. lelah merasakan sakit yang sama berulang-ulang.
            Bintang, malam ini, dihadapanmu, aku lelah untuk berpura-pura kuat. Aku tak malu menangis. Karena memang ini akhirnya. Air mata ini pertahanan terakhirku. Aku memang lemah. Sejak dulu. Tapi untukmu, aku akan selalu kelihatan tegar.
            Bintang, pernah dengar perumpamaan ‘Jodoh Pasti Bertemu’? iya, aku percaya. Dulu. Aku kira, takdir mempertemukanku denganmu karena kita memang ‘ditakdirkan’ bertemu. Tapi, aku salah. Aku salah, Ntang. Tuhan, membuat kejutan untuk kita. Tuhan, mempertemukanku denganmu karena memang begitu. Dia menuliskan begitu. Kita hanya bertemu, tanpa bisa berbuat lebih jauh. Iya, kau tahu kan? Takdir kita hanya bersinggungan.
            Aku kira, dulu. Kita akan melangkah berdua. Berjalan bersama menyusuri jalan yang memang sengaja tercipta untuk kita. Tapi lagi-lagi aku salah, Ntang. Kita memang berjalan bersama. Melangkah seirama. Tapi pada jalan yang berbeda. Kamu dengan jalanmu, dan aku pada jalanku. Searah, tapi tak sama.
            Salahku. Ini memang salahku, Ntang. Salahku yang memilih diam dengan perasaan ini. Salahku untuk tak memberitahumu. Salahku yang terlalu nyaman menyimpan rindu ini sendirian. Salahku untuk tak membaginya padamu. Salahku, yang terlalu egois. Iya, ini salahku.
            Aku tak pernah berharap takdir kita akan menyimpang. Aku tak pernah berharap Tuhan akan menggariskan jalan yang berbeda untuk kita. Aku tak pernah menyangka waktu kita sependek ini. Aku tak berharap bahwa takdir membawamu menjauh dariku. Jauh sejauh-jauhnya hingga mungkin tak dapat kugapai lagi.
            Ntang, kamu liat aku kan diatas sana? Kamu liat aku lagi nangis kan sekarang? Kamu sekarang tahu kan, betapa aku rapuh tanpa kamu? Betapa topeng tegar itu aku lepas sekarang setelah bertahun-tahun aku memakainya. Ntang.... aku ingin melepasmu.
            Ntang, Maafin aku yang akhirnya menyerah. Maafin aku yang ga bisa lagi mempertahankanmu di hati. Maafin aku yang tak akan mengukir namamu lagi.
                        Ntang, izinkan aku untuk membuka lembar baru ini. Lembar kehidupanku kali ini. lembar pertama hidupku yang akan kuisi tanpa namamu. Tanpa bersama bayangmu lagi. Izinkan aku untuk menutup buku lama itu. Buku lama dengan kamu, dan segala kenangan tentangmu di dalamnya. Buku lama tentang kita.
            Ntang, aku merindukanmu untuk terakhir kalinya.

P.S : Surat ini ditulis sambil mengenang dua tahun kepergianmu yang tiba-tiba, Ntang. Semoga kamu mengerti mengapa aku menyerah sekarang. Tetap menjadi Bintang dilangit ya, Ntang.

Senin, 03 Maret 2014

Hey, Masa lalu!



Pernah kau melakukannya? Diam di kamarmu, menatap langit-langit kamar lalu terpejam? Dan setelah kau terpejam kenangan itu hadir. Kenangan yang kau simpan diam-diam di sudut hati. Kenangan yang kau himpun dalam kotak pandoramu. Kenangan, yang bahkan kau berjanji takkan pernah membukanya lagi.

           Kenangan masa lalumu.

            Masa lalu. Iya, masa lalu. Beberapa orang, merasa takut dengan masa lalunya. Memaksanya untuk hilang dalam ingatan. Memaksanya untuk terpendam jauh dalam bagian tergelap di hatinya, di fikirannya.

            Beberapa orang lainnya, membiarkannya. Membiarkan kenangan masa lalu itu ada di ingatan mereka. Berharap waktu yang akan menghapusnya tanpa repot-repot kita berusaha. Berharap kenangan masa lalu itu akan tergantikan dengan kenangan yang baru dengan sendirinya.

            Aku, memilih yang kedua. Aku membiarkanmu disana. Di fikiranku. Tanpa berniat menghapusnya. Memilih pasrah terhadap waktu. Memohon agar waktu yang akan melenyapkanmu dengan sendirinya dari sana.

            Tapi, tentu saja ini tidak mudah.

            Aku masih merasakannya. Perasaan luka itu. Luka yang kamu toreh dulu. Hey! Tau tidak? Ini masih seperti luka baru. Aku masih bisa merasakan perihnya. Aku masih bisa merasakan sakitnya. Aku masih bisa merasakan bagaimana dengan mudahnya kamu berpaling dahulu.

            Ketahuilah, tulisan ini bercerita tentang kita. Iya, aku. Kamu. Dulu.

            Aku masih ingat itu. Saat pertama kali pandang kita bertemu. Jujur, aku tak merasakan apapun saat itu. Semua masih berjalan normal, dan semestinya.

            Hingga saat itu. Masih segar di memoriku saat kamu mengirimiku pesan. Dari situlah kita mulai dekat. Hey, kamu ingat kan? Saat pertama kali kisah ini kita awali dengan sebuah pertengkaran aneh. Pertengkaran yang menurutku tidak penting. Hingga akhirnya, berakhir dengan sebuah kisah pendek antara aku dan kamu.

            Hari dimana kamu mengucapkan itu. Kamu bilang, kamu sayang aku. Kamu bilang, kamu suka aku. Kamu bilang, maukah aku jadi pacarmu.

            Aku menjawab ya dengan suka ria. Dan kita mulai menjalani kisah ini berdua.

            Hai, masa laluku. Apa kamu ingat saat kita memutuskan untuk mempunyai panggilan istimewa? Aku memanggilmu Bebek karena kau begitu cerewet. Dan kau memanggilku Siput. Aku tidak tahu persis apa alasanmu. Katamu, aku begitu lambat. Seperti siput.

            Tak apa, aku juga senang mendengarnya. Karena itu darimu. Iya, darimu. Orang yang begitu ku percaya. Orang yang begitu kusayangi, bahkan, sepertinya, aku lebih menyayangimu dibanding diriku sendiri.

            Masih terekam jelas di ingatan saat kamu mendatangiku saat itu. Bertanya. Lalu kita tertawa. Tanpa alasan jelas. Lalu kamu merebut topiku. Memakainya, lalu berlari menjauh dariku. Saat aku tak lagi memperdulikanmu, kamu berlari ke arahku. Mengembalikan topiku. Lalu memakaikannya di kepalaku. Tanpa ku sadari. Terakhir, kamu tersenyum padaku. Senyum membius yang membuatku jatuh.

            Tahukah, hey masa laluku. Aku merindukanmu. Merindukan pesan hangatmu. Merindukan rangkaian kata yang mampu menghiburku. Merindukan setiap huruf yang tertera di ponselku, sebagai tanda kekhawatiranmu.

            Sampai saat itu datang. Saat dimana rasa ini hancur. Lebur. Terbawa bersama desau angin yang tidak terlalu besar. Hatiku... terbang. Menjadi butiran..

            Kamu tahu? Betapa perasaan ini hancur ketika kau berujar ingin mengakhiri semua perasaanmu padaku. Mengakhiri kisah kita.

            Kamu bilang saat itu, bahwa kamu tak ingin mengangguku. Kamu ingin, aku mengejar citaku-citaku. Kamu bilang, kamu tak akan menghalangiku untuk itu. Aku percaya. Ingat kan? Aku percaya padamu.

            Tapi ternyata aku salah. Kamu mematahkan rasa percayaku. Itu bukan alasanmu, kan? Alasan sebenarnya. Karena ada dia. Dia, si masa lalumu.

            Aku mencoba tegar. Aku berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku berkata aku tidak terluka. Aku menyangkal bahwa hatiku retak. Aku menyangkal bahwa aku sangat rapuh. Aku menyangkal bahwa hatiku masih utuh.

            Karena hatiku ternyata tidak utuh lagi. Sebagian, terbawa olehmu.

            Hey, masa lalu. Aku hanya ingin memberitahumu. Kalau melupakanmu itu... menyakitkan.
            Sama menyakitkannya dengan kamu sengaja mengiris tanganmu dengan pisau lalu menetesinya dengan air jeruk.

            Se-menyakitkan-itu.

            Bahkan, mengingatmu saat ini sama menyakitkannya seperti melupakanmu.

            Hey, masa laluku. Dari sini, dari masa kini. Aku melambaikan tangan padamu. Mengucap salam perpisahan atas semua rasa yang menyakitkan. Aku mengucap perpisahan atas luka yang kau torehkan dan masih terkenang. Hey masa laluku, kamu dapat salam dari masa depanku. ;)