Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 24 April 2015

Be Strong!


“Jangan pernah capek jadi orang baik.” (Ka Deni, 2014)

                Salah satu kalimat yang kakak kelas gue berikan ke gue ketika gue mengeluh jadi orang baik dan berniat menjadi jahat. Simpel. Namun kena. Gue sempat tertohok ketika bacanya. Sempet nyesel udah berniat jadi orang jahat. Tapi setengah nyesel juga jadi orang baik.

                Baik gabisa di definisikan dengan tepat sebenarnya. Semua orang punya definisi baik yang beda. Mungkin kita ngerasa baik tapi bagi orang nggak baik. Atau sebaliknya. Yang jelas, ketika kita berniat untuk menjadi bermanfaat untuk orang lain, disitulah kita berproses menuju kebaikan.

                Beberapa hari belakangan, gue selalu ditimpa bertubi-tubi masalah. Karena ga mau suudzon, gue selalu menanamkan dipikiran gue bahwa ini karena Allah sayang gue. Sayang banget sampe ujiannya bener-bener wah banget lah pokoknya. Sampe gue beneran butuh pegangan berapa kali. Harus berhenti, mikir, baru jalan lagi. Yang lebih gila sih, gue sampe mau bikin ‘kepribadian baru’ yang sifatnya jahat biar dia yang bales sakit hati gue. Iya segitunya.

                Tapi untungnya Allah memang menciptakan gue dengan segitu kuatnya. Iya, kuat di luar ambyar di dalam. Hahaha. Bersyukurnya, gue ga jadi bikin kepribadian baru itu. Dipikir-pikir ya serem juga sih jadi penderita D.I.D.

                Karena kejadian beberapa hari belakangan yang gue gatau darimana awalnya, dan tiba-tiba diserang aja macam serangan fajar, gue kembali ke fase awal.

Fase dimana gue lelah banget jadi orang baik.

Fase dimana gue maunya jadi jahat.

Fase dimana gue berharap ga jadi gue yang sekarang yang segitunya baik sama orang tapi ga pernah dibaikin.

                Kalo ada yang pernah ada di fase ini. Tenang. Lo normal kok. Namanya juga baru kecewa. Pasti ada masa denial dimana lo masih berharap ini-itu. Masa dimana semua kalimat lo berawalan seandainya.

“Seandainya gue ga kenal dia...”

“Seandainya gue ga terlalu baik...”

“Seandainya gue ga masuk di kimia...” (eh ini mah gue ya) atau

“Seandainya mereka aja yang ga masuk kimia...” (lah ini mah gue lagi..)

                Ya gitu. Kecewa. Perasaan dimana seolah-olah lo dikhianati sama perasaan lo sendiri. Semacam diboongin oleh orang yang lo percaya. Ya semacam itulah.

                Gara-gara kejadian kemarin, rasanya gue ga percaya semua perkataan apapun. Di luar gue baik-baik aja kan? Masih ketawa? Masih. Masih bisa ngelawak? Masih. Iya di luar. Di dalam? Ga ada yang tahu kalo di dalam gue setengah mati menahan sebagian diri gue yang pengin jadi jahat. Ga ada yang tahu kalo di dalam, lukanya sebesar itu dan gue berusaha ngobatinnya sendiri tanpa tahu pasti caranya gimana luka itu bisa sembuh.

Gue bersyukur untuk memiliki sifat sanguinis di diri gue. Buat siapapun yang udah ngasih tau gue kalo gue ini sanguinis, terima kasih. Setidaknya gue masih bisa survive diatas sifat melankolis gue yang semakin hari ini semakin mendominasi.

                “Saying ‘I’m tired’ whe you’re actually just sad”--@dailyteenwords

                Kalo udah kecewa, kalo udah sakit. Ga ada kata yang pas selain bilang, “Gue Cuma capek aja kok..” ketika ditanyain “Lo kenapa?”. Kata yang lumayan ampuh untuk sekedar menutupi suasana hati lo yang sebenarnya. Karena ga seenaknya lo bisa bilang, “Iya gue kecewa sama lo. Iya gue marah. Iya.. iya..”

                Ah, menjaga perasaan selalu serumit itu. Ketika seseorang mati-matian menjaga perasaan orang lain, ketika itu juga orang yang dia jaga perasaannya, ga melakukan hal yang sama. Biasa? Banget. Mau gimana? Ga setiap orang mau repot-repot jaga perasaan orang sih. Sedih lah pokoknya :’)

                “All good things come to an end (Eeyore)”--@disneywords

                Iya. Semua yang baik pada akhirnya akan berakhir juga. Mungkin memang masa baiknya udah lewat jauh dan sekarang masa buruknya. Iya, hidup kan kayak roda. Mungkin kita lagi dibawah saat ini. iya, positif thiking aja udah. Kekecewaan yang kita dapetin sekarang seharusnya dijadiin pelajaran, bahwa yang gue pelajarin dari kejadian kemarin adalah:
     
  1.     Ga semua orang harus lo jaga perasaannya. Hanya orang yang jaga perasaan lo lah yang pantas untuk itu.
  2.          Gausah ber-ekspektasi orang akan baik sama lo kalo lo baik sama mereka.
  3.        Gausah kepancing emosi. Karena sesungguhnya orang yang ngata-ngatain lo dengan bermacam-macam ungkapan dan kata yang ga pantas itu sebenernya mau bikin lo ikut pemainan mereka.
  4.        Tetap kuat, guys!


“Always give your 100%. Except trust, because people change and promises broken”--@yeahmahasiswa

And last,


“When live gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile. Be happy and smile.”--@dailyteenwords

Jumat, 10 April 2015

Lelah [Drabble]


                “Lo masih bertahan aja sih?”

                Gue cuma bisa tersenyum lalu ketawa garing. Kering. Tenggorokan gue rasanya kering.

                “Gue ga bertahan.” Kata gue mengelak. Gue lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Silau. Memang, matahari lagi semangat-semangatnya bersinar di luar sana. Rasanya kult gue bakal langsung ngelepuh kalo kena sinarnya.

                “Trus?”

                Gue mengalihkan pandangan ke arah Nina yang masih memandang gue. Kemudian menegakkan badannya malas.

                “Gue bilangin ya, Tris. Percuma lo bertahan buat dia.”

                Gue menarik nafas pelan. Menelan ludah untuk sekedar membasahi tenggorokan gue yang rasanya semakin kering. “Gue udah ga bertahan elah, Na. “ kata gue meyakinkan.

                “Masa?”

                “Bodo?” Jawab gue lalu menaikkan sebelah alis gue kesal karena pertanyaan yang sering membuat gue terjebak.

                “Ih anjir, gue nanya beneran!” Nina merajuk lalu mencubit lengan gue keras. Membuat gue menjerit. Untung ini istirahat. Sialan emang Nina!

                Gue mengusap-ngusap lengan gue sambil meringis. Lalu menatap Nina galak. Awas aja ini anak kalo lengan gue sampe biru!

                “Iya ah. Gue udah give up juga.” Kata gue lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Sengaja. Gue memang bukan tipe yang bisa ngeliat mata orang kalo lagi ngomong. Ga sopan sih. Bagi gue sendiri mata adalah jendela. Ketika gue bertatapan dan ngomong, gue ngerasa, bahkan rahasia terdalam gue pun akan kebongkar.

                “Tumben?”

                Gue tertawa sebentar lalu menangkap sosok Dion di ujung lapangan. Gue terdiam sebentar, lalu sebuah suara dalam hati gue menyahut. Nggak. Gue ga sepenuhnya menyerah atas Dion. Hanya, lelah. Gue lelah. Gue lelah berjuang sendirian.

                “Ada yang bilang sama gue kalo gue bahkan gabisa dibilang cinta bertepuk sebelah tangan.” Kata gue lalu mengalihkan pandangan ke arah Nina. Tersenyum. “Gue gabisa dibilang bertepuk sebelah tangan, Na. Sedih nggak?”

                “Hanya karena gue ga pernah interaksi. Perasaan gue gabisa disebut bertepuk sebelah tangan, Na. Trus gue apa dong Na? Yah jadi gue mah apa atuh Na. Invisible. Ga keliatan. Hahaha.” Gue ketawa sebentar lalu berhenti. Menyadari ketawa gue terlalu dipaksakan. Gue akhirnya diem. Tenggorokan gue semakin kering.

                “Gue Cuma lelah Na jadi diri gue sendiri.” Gue menarik nafas. Tercekat sendiri. Gue butuh air. “Rasanya capek aja gitu Na. Berharap sendiri. Sakit sendiri. Trus berharap lagi. Dimaki-maki lo karena gue bodoh. Berusaha ngelupain. Kembali ngeyakinin diri. Gitu terus. Repeat.”

                Pandangan gue mulai buram. Gue menghindari tatapan Nina lalu buru-buru menyeka air mata yang mau turun. Menarik nafas panjang. Lalu berdiri.

                “Gue aus nih Na. Ke kantin duluan ya.” Kata gue lalu buru-buru kabur sebelum Nina memergoki air mata gue yang akan keluar lagi.

Iya. Gue Cuma lelah.

Lelah berharap.

Lelah meyakinkan diri.

Lelah ngobatin luka sendiri.

Lelah pura-pura bahagia.

Lelah sama diri gue sendiri.


**