“Lo
masih bertahan aja sih?”
Gue cuma
bisa tersenyum lalu ketawa garing. Kering. Tenggorokan gue rasanya kering.
“Gue ga
bertahan.” Kata gue mengelak. Gue lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Silau.
Memang, matahari lagi semangat-semangatnya bersinar di luar sana. Rasanya kult
gue bakal langsung ngelepuh kalo kena sinarnya.
“Trus?”
Gue mengalihkan
pandangan ke arah Nina yang masih memandang gue. Kemudian menegakkan badannya
malas.
“Gue
bilangin ya, Tris. Percuma lo bertahan buat dia.”
Gue menarik
nafas pelan. Menelan ludah untuk sekedar membasahi tenggorokan gue yang rasanya
semakin kering. “Gue udah ga bertahan elah, Na. “ kata gue meyakinkan.
“Masa?”
“Bodo?”
Jawab gue lalu menaikkan sebelah alis gue kesal karena pertanyaan yang sering
membuat gue terjebak.
“Ih
anjir, gue nanya beneran!” Nina merajuk lalu mencubit lengan gue keras. Membuat
gue menjerit. Untung ini istirahat. Sialan emang Nina!
Gue mengusap-ngusap
lengan gue sambil meringis. Lalu menatap Nina galak. Awas aja ini anak kalo
lengan gue sampe biru!
“Iya
ah. Gue udah give up juga.” Kata gue
lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Sengaja. Gue memang bukan tipe
yang bisa ngeliat mata orang kalo lagi ngomong. Ga sopan sih. Bagi gue sendiri
mata adalah jendela. Ketika gue bertatapan dan ngomong, gue ngerasa, bahkan
rahasia terdalam gue pun akan kebongkar.
“Tumben?”
Gue tertawa
sebentar lalu menangkap sosok Dion di ujung lapangan. Gue terdiam sebentar,
lalu sebuah suara dalam hati gue menyahut. Nggak. Gue ga sepenuhnya menyerah
atas Dion. Hanya, lelah. Gue lelah. Gue lelah berjuang sendirian.
“Ada
yang bilang sama gue kalo gue bahkan gabisa dibilang cinta bertepuk sebelah
tangan.” Kata gue lalu mengalihkan pandangan ke arah Nina. Tersenyum. “Gue
gabisa dibilang bertepuk sebelah tangan, Na. Sedih nggak?”
“Hanya
karena gue ga pernah interaksi. Perasaan gue gabisa disebut bertepuk sebelah
tangan, Na. Trus gue apa dong Na? Yah jadi gue mah apa atuh Na. Invisible. Ga keliatan.
Hahaha.” Gue ketawa sebentar lalu berhenti. Menyadari ketawa gue terlalu
dipaksakan. Gue akhirnya diem. Tenggorokan gue semakin kering.
“Gue Cuma
lelah Na jadi diri gue sendiri.” Gue menarik nafas. Tercekat sendiri. Gue butuh
air. “Rasanya capek aja gitu Na. Berharap sendiri. Sakit sendiri. Trus berharap
lagi. Dimaki-maki lo karena gue bodoh. Berusaha ngelupain. Kembali ngeyakinin
diri. Gitu terus. Repeat.”
Pandangan
gue mulai buram. Gue menghindari tatapan Nina lalu buru-buru menyeka air mata
yang mau turun. Menarik nafas panjang. Lalu berdiri.
“Gue
aus nih Na. Ke kantin duluan ya.” Kata gue lalu buru-buru kabur sebelum Nina
memergoki air mata gue yang akan keluar lagi.
Iya. Gue Cuma lelah.
Lelah berharap.
Lelah meyakinkan diri.
Lelah ngobatin luka sendiri.
Lelah pura-pura bahagia.
Lelah sama diri gue sendiri.
**
0 komentar:
Posting Komentar