Rabu, 14 Oktober 2015

-Untitled-




You were everything to me, and now you’re something to someone else.

-Kent Sujipto

+++

                “Gue gapapa.”

                Satu kalimat yang selalu dikeluarkan oleh dia yang matanya sudah berkaca-kaca. Aku mendengus. Lalu memilih mengalihkan pandangan ke arah taburan bintang pada kanvas hitam besar yang terbentang. Sesaat pikiranku melayang pada keseluruhan ceritanya yang nyaris sama denganku. Bukan, lebih tepatnya, memang sama.

                Kata penelitian sebuah psikologi, naksir seseorang hanya berlaku sampai 3 bulan. Selanjutnya, itu cinta. Aku tertawa hambar begitu membacanya. Lalu tersedak sendiri. Udah lama yah ternyata, batinku berbisik. Aku tertawa lagi. Kali ini lebih hambar daripada yang tadi. Entah apa yang aku tertawakan. Diriku yang menyedihkan, atau mungkin kisah ini yang terlalu pilu?

                Pada kenyataannya, mempertahankan perasaan tidaklah semudah itu. Banyak yang akhirnya hilang karena waktu. Banyak yang tergilas karena zaman, atau mungkin terkubur bersama kenangan.

+++

                Aku menepuk-nepuk bahunya pelan. Sekedar menyalurkan perasaan untuk tetap menguatkan. Iya, aku bahkan tak bisa memberi sepatah katapun untuk membuat dia bersemangat. Hanya “Lo harus tetep kuat, ya.” Yang bisa aku katakan. Sebaris kalimat tanpa arti. Kosong.

                Dia tersenyum lagi, “Iya.” Katanya. Aku ikut tersenyum. Lalu kembali menepuk-nepuk bahunya lagi—menguatkannya lagi. Rasanya, aku ingin sekali menyuruhnya menangis. Hanya sekedar mengeluarkan apa yang dia rasakan selama ini. Aku benci melihatnya tersenyum. Seolah-olah tidak terjadi apapun. Seolah-olah menunggu untuknya yang bahkan tidak melihatmu dan memilih orang lain itu bukanlah suatu masalah. Seolah-olah dia bahkan bisa menunggu lebih lama lagi.

Seolah-olah melihatnya bahagia bahkan bukan denganmu itu adalah hal lumrah.

Seolah-olah bahagianya adalah bahagiamu juga.

                Aku menarik nafas. Mengingat kisahnya seperti melihat aku dulu. Aku memjiat pelipisku pelan. Lalu menarik nafas lagi—kali ini lebih berat.

                Padahal sesungguhnya, menunggu dia yang tak pernah melihatmu bukanlah sesuatu yang mudah. Padahal, ketika melihatnya bahagia bukan denganmu bukanlah hal yang lumrah.

                Iya, karena sakit juga rasanya.

                Bahagianya itu bukanlah bahagiamu kan? Toh kamu akan merasakan hal kebalikannya. Toh kamu akan merasakan sakitnya. Bukan bahagianya. Jadi dikalimat mana bahagianya bahagiamu juga?
               
+++

There comes a time when you have to stop crossing oceans for people who wouldn’t jump puddles for you.
-Anonymous

“Gue Cuma ga nyangka aja, dia yang segitu deketnya sama gue bisa ngelakuin hal itu.” Tatapan matanya kembali sendu. “Padahal, kalo jujur gue pun ikhlas.”

Aku mengangguk mengiyakan. Saat kenyataan semakin nyata, kamu tak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Dan berdoa semoga itu adalah sesuatu yang paling baik untuk dia.

Pada akhirnya, hati punya batas menunggunya sendiri. Dan disaat sudah jenuh, ia akan mundur tanpa disuruh, dan akan mengalah tanpa diperintah.

Yang aku lihat, hatinya sudah diambang jenuh dan akan mengalah untuk hati lainnya. Iya. Aku melihatnya dengan jelas. Guratan lelah itu, hembusan nafas yang semakin berat itu menandakan dia akan menyerah. Menyerah untuk sebuah hati yang dia yakini akan dia miliki. Tetapi kenyataan tak memperbolehkan mimpi menempati ruangnya. Hingga akhirnya semuanya menjadi angan untuk diterbangkan.

Pada hati lainnya, dia menitipkan hatinya. Berdoa semoga dia yang kini menjadi angan selalu bahagia atas apa yang dipilihnya.  Dan aku menyadari satu hal.

Dia merelakannya.

4 komentar:

  1. i am sorry about this https://plus.google.com/112273568571648046579/posts/RTvbbTDukyN

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ga apa apa. Gue juga yang salah. Ehe ehe ehe. Im sorry to about that

      Hapus