You were everything to
me, and now you’re something to someone else.
-Kent Sujipto
+++
“Gue
gapapa.”
Satu kalimat
yang selalu dikeluarkan oleh dia yang matanya sudah berkaca-kaca. Aku mendengus.
Lalu memilih mengalihkan pandangan ke arah taburan bintang pada kanvas hitam
besar yang terbentang. Sesaat pikiranku melayang pada keseluruhan ceritanya
yang nyaris sama denganku. Bukan, lebih tepatnya, memang sama.
Kata penelitian
sebuah psikologi, naksir seseorang hanya berlaku sampai 3 bulan. Selanjutnya,
itu cinta. Aku tertawa hambar begitu membacanya. Lalu tersedak sendiri. Udah lama yah ternyata, batinku
berbisik. Aku tertawa lagi. Kali ini lebih hambar daripada yang tadi. Entah apa
yang aku tertawakan. Diriku yang menyedihkan, atau mungkin kisah ini yang
terlalu pilu?
Pada kenyataannya,
mempertahankan perasaan tidaklah semudah itu. Banyak yang akhirnya hilang
karena waktu. Banyak yang tergilas karena zaman, atau mungkin terkubur bersama
kenangan.
+++
Aku menepuk-nepuk
bahunya pelan. Sekedar menyalurkan perasaan untuk tetap menguatkan. Iya, aku
bahkan tak bisa memberi sepatah katapun untuk membuat dia bersemangat. Hanya “Lo
harus tetep kuat, ya.” Yang bisa aku katakan. Sebaris kalimat tanpa arti. Kosong.
Dia tersenyum
lagi, “Iya.” Katanya. Aku ikut tersenyum. Lalu kembali menepuk-nepuk bahunya
lagi—menguatkannya lagi. Rasanya, aku ingin sekali menyuruhnya menangis. Hanya sekedar
mengeluarkan apa yang dia rasakan selama ini. Aku benci melihatnya tersenyum. Seolah-olah
tidak terjadi apapun. Seolah-olah menunggu untuknya yang bahkan tidak melihatmu
dan memilih orang lain itu bukanlah suatu masalah. Seolah-olah dia bahkan bisa
menunggu lebih lama lagi.
Seolah-olah melihatnya bahagia bahkan bukan denganmu itu
adalah hal lumrah.
Seolah-olah bahagianya adalah bahagiamu juga.
Aku menarik
nafas. Mengingat kisahnya seperti melihat aku dulu. Aku memjiat pelipisku
pelan. Lalu menarik nafas lagi—kali ini lebih berat.
Padahal
sesungguhnya, menunggu dia yang tak pernah melihatmu bukanlah sesuatu yang
mudah. Padahal, ketika melihatnya bahagia bukan denganmu bukanlah hal yang
lumrah.
Iya,
karena sakit juga rasanya.
Bahagianya
itu bukanlah bahagiamu kan? Toh kamu akan merasakan hal kebalikannya. Toh kamu
akan merasakan sakitnya. Bukan bahagianya. Jadi dikalimat mana bahagianya
bahagiamu juga?
+++
There comes a time
when you have to stop crossing oceans for people who wouldn’t jump puddles for
you.
-Anonymous
“Gue Cuma ga nyangka aja, dia
yang segitu deketnya sama gue bisa ngelakuin hal itu.” Tatapan matanya kembali
sendu. “Padahal, kalo jujur gue pun ikhlas.”
Aku mengangguk mengiyakan. Saat kenyataan
semakin nyata, kamu tak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Dan berdoa semoga
itu adalah sesuatu yang paling baik untuk dia.
Pada akhirnya, hati punya batas
menunggunya sendiri. Dan disaat sudah jenuh, ia akan mundur tanpa disuruh, dan
akan mengalah tanpa diperintah.
Yang aku lihat, hatinya sudah
diambang jenuh dan akan mengalah untuk hati lainnya. Iya. Aku melihatnya dengan
jelas. Guratan lelah itu, hembusan nafas yang semakin berat itu menandakan dia
akan menyerah. Menyerah untuk sebuah hati yang dia yakini akan dia miliki. Tetapi
kenyataan tak memperbolehkan mimpi menempati ruangnya. Hingga akhirnya semuanya
menjadi angan untuk diterbangkan.
Pada hati lainnya, dia menitipkan
hatinya. Berdoa semoga dia yang kini menjadi angan selalu bahagia atas apa yang
dipilihnya. Dan aku menyadari satu hal.
Dia merelakannya.
curhat terus :D
BalasHapusNggak sih
BalasHapusi am sorry about this https://plus.google.com/112273568571648046579/posts/RTvbbTDukyN
BalasHapusGa apa apa. Gue juga yang salah. Ehe ehe ehe. Im sorry to about that
Hapus