Minggu, 13 September 2015

Untouchable. [Story]


My friends keep saying you’re untouchable. –Notice Me, David Archuleta.

+++

                Dia masih berdiri disana. Dengan setelan celana jeans hitam dan kaus yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di depan gue sambil menundukkan kepala.

                “Maafin gue,” katanya dengan suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak kepalanya.

                “Gapapa.”  Balas gue.

++++

                Nggak ada yang istimewa dari dia. Hanya seorang cewek yang mempunyai tinggi sebahu gue. Dia, ga ada lebihnya. Lebihnya hanya lengkung kecil di bibirnya yang selalu terpasang seperti sudah di-setting setiap hari. Lebihnya hanya pada derai tawanya yang besar walau dia perempuan. Lebihnya hanya pada suaranya yang selalu terdengar saat kami berpapasan dan dia memanggil nama gue dengan kencang atau sekedar menyapa, “Hai!”.

                Lebihnya dia hanya disitu. Gue pertama kenal dia dalam acara ospek jurusan. Jangan bayangkan dia adalah orang yang bersinar. Nggak. Bahkan waktu itu dia sama sekali ga menarik perhatian.

                Waktu membuat gue dekat dengan dia di berbagai kegiatan. Gue jadi terbiasa dengan suara tawanya yang khas itu. Terbiasa dengan muka polosnya yang percaya padahal dia sedang dibohongi habis-habisan. Terbiasa dengan muka kagetnya begitu dia tau faktanya dan berteriak kepada orang yang telah membohonginya dengan berbagai umpatan. Gue terbiasa.

                Sampai akhirnya perasaan itu datang. Perasaan asing yang membuat gue nyaman atas kehadiran dia disisi gue. Saat bersamanya, gue bisa jadi diri gue. Gue bisa tertawa sepuas gue. Dekat dengannya, bahkan membuat gue ingin selalu tertawa atau sekedar tersenyum.

**

                “Lo suka dia? sumpah?”

                Gue mengangguk pasti. Tiwi, teman dekatnya menggeleng pelan. Merasa tidak percaya atas apa yang baru gue katakan.

                “Nggak ada yang lain apa?” Tiwi berdecak, “Lo tau kan dia anaknya susah buka hati?”

                “Gue tau.” Kata gue menjawab pertanyaan Tiwi.

                “Kalo lo tau, kenapa masih berani?”

                “Batu karang aja bakal kekikis juga sama ombak. Masa dia gabisa?”

                “Dengerin gue,” Tiwi menarik nafasnya, “Dia bahkan lebih batu dari karang. Kalo lo mau berjuang yaudah, sok. Cuma gue kasih tau, dia orangnya sesusah itu. Apalagi dia tau kalo ada yang suka sama lo juga sampe sebegitunya. Dia bakal gaenak lah. Dianggap makan temen bisa-bisa.”

                Gue ikut menghela nafas mendengar penuturan panjang Tiwi. Kepala gue berdenyut pelan.

                “Jadi gue harus gimana?”
**

                Gue tahu. Dibalik sifat ramahnya. Dibalik senyum yang seperti di setting, dan dibalik derai tawanya itu dia adalah sosok orang yang keras kepala. Dia adalah rumah yang lo bisa masukkin dengan gampangnya. Tapi hanya sampai gerbang. Gabisa sampai ruang tamu. Pintunya selalu tertutup. Gue tahu.

                 Dia mungkin terlihat bersahabat. Terlihat menerima lo dengan tangan terbuka. Tapi diantara itu, dia memasang batas. Batas dimana ketika lo berusaha melewatinya, dia akan berlaku sebaliknya. Dan dia akan menutup tangannya untuk lo.

                “Kenapa sih lo selalu begitu?” Gue memberanikan diri bertanya padanya.

                “Begitu gimana?”

                “Kalo dideketin orang, kesannya menolak.”

                Dia tertawa, “Emang iya? Nggak ah perasaan.” Katanya mengelak.

                Gue tertawa sebentar, “Iya. Lo emang begitu kok.”

                Dia masih terus memandang kedepan dengan sisa-sisa tawanya. “Kenapa sih orang butuh status?” Dia mulai bergumam, “Kenapa ga stay aja gitu tanpa status? Gabisa emang yah?”

                “Status ada buat buktiin kepemilikan.” Kata gue menjawab. Gue melihat dia mengangguk sebentar, lalu menyenderkan bahunya ke bangku.

                “Kenapa emang lo?”

                Dia menggeleng pelan, dan senyum itu mulai muncul lagi, “Gapapa. Hahaha. Baru-baru ini, ada yang pergi dari gue. Katanya gue ga buka hati.”

                “Makanya belajar buka hati.” Gue menimpali. “Kalo ada orang yang ngetok pintu itu dibuka. Jangan cuma didengerin dari dalam doang. Makanya  tamunya pergi deh.”

                Dia tertawa, “Gue buka hati kok.” Katanya lalu berdehem, “Tamunya aja ga sabaran. Gue kan lagi nyari kunci biar bisa buka pintunya.”

                Dia kemudian berdiri, membuat gue refleks ikut berdiri disampingnya. Ketika dia akan melengkah, gue menahan tangannya. Membuat dia berbalik dan memandang gue penuh tanya.

                “Kenapa?”

                “Lo bilang lo lagi buka hati kan?” tanya gue sambil terus menatapnya, “Kalo gue yang ngetuk pintunya, boleh?”

                Dia tertawa, “Hahaha. Apaan sih lo.”

                “Gue serius.” Perkataan gue membuat dia berhenti tertawa. Gue melanjutkan, “Kalo gue yang berusaha buat ngetuk pintunya, apa lo bakal nyari kunci buat buka juga? Atau lo bahkan ga berniat untuk buka pintunya?”

                Dia mundur satu langkah kebelakang. Membuat genggaman tangannya terputus dari gue. Memberi jarak.

                “Kalo lo yang ngetuk—“ Dia menarik nafas, “Gue cuma bisa denger lo dari dalam dan ga berniat nyari kunci buat lo bisa masuk ke dalam. Gue gabisa nyakitin hati orang.”

                Gue mengangguk. Mengerti ke arah mana yang dia maksud.

                “Lo nggak mau nyakitin Stella?”

                “Iya.” Dia mengangguk. “Gue tahu seberapa dalam perasaannya buat lo.”

                Gue menghela nafas. Dia masih berdiri disana. Dengan setelan celana jeans hitam dan kaus yang dibungkus cardigan berwarna peach. Berdiri di depan gue sambil menundukkan kepala.

                “Maafin gue,” katanya dengan suara serak. Gue mengangguk, lalu menepuk pelan puncak kepalanya.

                “Gapapa.”  Balas gue.

                Kini gue melihat bahunya naik turun. Perlahan punggung tangannya mengusap cairan bening yang lolos dari matanya.

                “Gausah nangis. Hahaha.” Gue tertawa pelan, kenapa dia yang nangis? Padahal harusnya gue yang nangis karena udah ditolak abis-abisan bahkan sebelum nyoba.

                “Gue sedih.” Katanya. Berusaha terdengar biasa aja. Tetapi justru itu membuat gue semakin nyesek. “Gue ga mau nyakitin hati Stella. Tapi sekarang gue malah nyakitin hati lo juga.”

                Gue mengangguk mengerti, “Lo ga nyakitin hati gue kok.” Kata gue akhirnya menenangkan.

**
                Pada hari itu gue tahu kalo dia bahkan udah mengunci  gerbangnya dan ga membiarkan gue untuk masuk sedikitpun. Pada hari itu, kakinya, dan kaki gue memutuskan untuk berpisah di jalan yang emang berbeda.

                Pada hari itu sebelum kami benar-benar terpisah, dia berkata sambil tersenyum.

                “Coba sekali-kali liat siapa yang berdiri di belakang lo ya, Yo.  Karena dia mungkin satu-satunya orang yang paling tulus yang mau menunggu lo sampai berbalik. Dan orang itu pantes diperjuangin. Tapi orang itu, bukan gue.”


+++

2 komentar: