Senin, 03 Maret 2014

Hey, Masa lalu!



Pernah kau melakukannya? Diam di kamarmu, menatap langit-langit kamar lalu terpejam? Dan setelah kau terpejam kenangan itu hadir. Kenangan yang kau simpan diam-diam di sudut hati. Kenangan yang kau himpun dalam kotak pandoramu. Kenangan, yang bahkan kau berjanji takkan pernah membukanya lagi.

           Kenangan masa lalumu.

            Masa lalu. Iya, masa lalu. Beberapa orang, merasa takut dengan masa lalunya. Memaksanya untuk hilang dalam ingatan. Memaksanya untuk terpendam jauh dalam bagian tergelap di hatinya, di fikirannya.

            Beberapa orang lainnya, membiarkannya. Membiarkan kenangan masa lalu itu ada di ingatan mereka. Berharap waktu yang akan menghapusnya tanpa repot-repot kita berusaha. Berharap kenangan masa lalu itu akan tergantikan dengan kenangan yang baru dengan sendirinya.

            Aku, memilih yang kedua. Aku membiarkanmu disana. Di fikiranku. Tanpa berniat menghapusnya. Memilih pasrah terhadap waktu. Memohon agar waktu yang akan melenyapkanmu dengan sendirinya dari sana.

            Tapi, tentu saja ini tidak mudah.

            Aku masih merasakannya. Perasaan luka itu. Luka yang kamu toreh dulu. Hey! Tau tidak? Ini masih seperti luka baru. Aku masih bisa merasakan perihnya. Aku masih bisa merasakan sakitnya. Aku masih bisa merasakan bagaimana dengan mudahnya kamu berpaling dahulu.

            Ketahuilah, tulisan ini bercerita tentang kita. Iya, aku. Kamu. Dulu.

            Aku masih ingat itu. Saat pertama kali pandang kita bertemu. Jujur, aku tak merasakan apapun saat itu. Semua masih berjalan normal, dan semestinya.

            Hingga saat itu. Masih segar di memoriku saat kamu mengirimiku pesan. Dari situlah kita mulai dekat. Hey, kamu ingat kan? Saat pertama kali kisah ini kita awali dengan sebuah pertengkaran aneh. Pertengkaran yang menurutku tidak penting. Hingga akhirnya, berakhir dengan sebuah kisah pendek antara aku dan kamu.

            Hari dimana kamu mengucapkan itu. Kamu bilang, kamu sayang aku. Kamu bilang, kamu suka aku. Kamu bilang, maukah aku jadi pacarmu.

            Aku menjawab ya dengan suka ria. Dan kita mulai menjalani kisah ini berdua.

            Hai, masa laluku. Apa kamu ingat saat kita memutuskan untuk mempunyai panggilan istimewa? Aku memanggilmu Bebek karena kau begitu cerewet. Dan kau memanggilku Siput. Aku tidak tahu persis apa alasanmu. Katamu, aku begitu lambat. Seperti siput.

            Tak apa, aku juga senang mendengarnya. Karena itu darimu. Iya, darimu. Orang yang begitu ku percaya. Orang yang begitu kusayangi, bahkan, sepertinya, aku lebih menyayangimu dibanding diriku sendiri.

            Masih terekam jelas di ingatan saat kamu mendatangiku saat itu. Bertanya. Lalu kita tertawa. Tanpa alasan jelas. Lalu kamu merebut topiku. Memakainya, lalu berlari menjauh dariku. Saat aku tak lagi memperdulikanmu, kamu berlari ke arahku. Mengembalikan topiku. Lalu memakaikannya di kepalaku. Tanpa ku sadari. Terakhir, kamu tersenyum padaku. Senyum membius yang membuatku jatuh.

            Tahukah, hey masa laluku. Aku merindukanmu. Merindukan pesan hangatmu. Merindukan rangkaian kata yang mampu menghiburku. Merindukan setiap huruf yang tertera di ponselku, sebagai tanda kekhawatiranmu.

            Sampai saat itu datang. Saat dimana rasa ini hancur. Lebur. Terbawa bersama desau angin yang tidak terlalu besar. Hatiku... terbang. Menjadi butiran..

            Kamu tahu? Betapa perasaan ini hancur ketika kau berujar ingin mengakhiri semua perasaanmu padaku. Mengakhiri kisah kita.

            Kamu bilang saat itu, bahwa kamu tak ingin mengangguku. Kamu ingin, aku mengejar citaku-citaku. Kamu bilang, kamu tak akan menghalangiku untuk itu. Aku percaya. Ingat kan? Aku percaya padamu.

            Tapi ternyata aku salah. Kamu mematahkan rasa percayaku. Itu bukan alasanmu, kan? Alasan sebenarnya. Karena ada dia. Dia, si masa lalumu.

            Aku mencoba tegar. Aku berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku berkata aku tidak terluka. Aku menyangkal bahwa hatiku retak. Aku menyangkal bahwa aku sangat rapuh. Aku menyangkal bahwa hatiku masih utuh.

            Karena hatiku ternyata tidak utuh lagi. Sebagian, terbawa olehmu.

            Hey, masa lalu. Aku hanya ingin memberitahumu. Kalau melupakanmu itu... menyakitkan.
            Sama menyakitkannya dengan kamu sengaja mengiris tanganmu dengan pisau lalu menetesinya dengan air jeruk.

            Se-menyakitkan-itu.

            Bahkan, mengingatmu saat ini sama menyakitkannya seperti melupakanmu.

            Hey, masa laluku. Dari sini, dari masa kini. Aku melambaikan tangan padamu. Mengucap salam perpisahan atas semua rasa yang menyakitkan. Aku mengucap perpisahan atas luka yang kau torehkan dan masih terkenang. Hey masa laluku, kamu dapat salam dari masa depanku. ;)

0 komentar:

Posting Komentar