Pernah kau melakukannya? Diam di kamarmu, menatap
langit-langit kamar lalu terpejam? Dan setelah kau terpejam kenangan itu hadir.
Kenangan yang kau simpan diam-diam di sudut hati. Kenangan yang kau himpun
dalam kotak pandoramu. Kenangan, yang bahkan kau berjanji takkan pernah
membukanya lagi.
Kenangan
masa lalumu.
Masa
lalu. Iya, masa lalu. Beberapa orang, merasa takut dengan masa lalunya.
Memaksanya untuk hilang dalam ingatan. Memaksanya untuk terpendam jauh dalam
bagian tergelap di hatinya, di fikirannya.
Beberapa
orang lainnya, membiarkannya. Membiarkan kenangan masa lalu itu ada di ingatan
mereka. Berharap waktu yang akan menghapusnya tanpa repot-repot kita berusaha.
Berharap kenangan masa lalu itu akan tergantikan dengan kenangan yang baru dengan
sendirinya.
Aku,
memilih yang kedua. Aku membiarkanmu disana. Di fikiranku. Tanpa berniat
menghapusnya. Memilih pasrah terhadap waktu. Memohon agar waktu yang akan
melenyapkanmu dengan sendirinya dari sana.
Tapi,
tentu saja ini tidak mudah.
Aku
masih merasakannya. Perasaan luka itu. Luka yang kamu toreh dulu. Hey! Tau
tidak? Ini masih seperti luka baru. Aku masih bisa merasakan perihnya. Aku
masih bisa merasakan sakitnya. Aku masih bisa merasakan bagaimana dengan
mudahnya kamu berpaling dahulu.
Ketahuilah,
tulisan ini bercerita tentang kita. Iya, aku. Kamu. Dulu.
Aku
masih ingat itu. Saat pertama kali pandang kita bertemu. Jujur, aku tak
merasakan apapun saat itu. Semua masih berjalan normal, dan semestinya.
Hingga
saat itu. Masih segar di memoriku saat kamu mengirimiku pesan. Dari situlah
kita mulai dekat. Hey, kamu ingat kan? Saat pertama kali kisah ini kita awali
dengan sebuah pertengkaran aneh. Pertengkaran yang menurutku tidak penting.
Hingga akhirnya, berakhir dengan sebuah kisah pendek antara aku dan kamu.
Hari
dimana kamu mengucapkan itu. Kamu bilang, kamu sayang aku. Kamu bilang, kamu
suka aku. Kamu bilang, maukah aku jadi pacarmu.
Aku
menjawab ya dengan suka ria. Dan kita mulai menjalani kisah ini berdua.
Hai,
masa laluku. Apa kamu ingat saat kita memutuskan untuk mempunyai panggilan
istimewa? Aku memanggilmu Bebek karena kau begitu cerewet. Dan kau memanggilku
Siput. Aku tidak tahu persis apa alasanmu. Katamu, aku begitu lambat. Seperti
siput.
Tak
apa, aku juga senang mendengarnya. Karena itu darimu. Iya, darimu. Orang yang
begitu ku percaya. Orang yang begitu kusayangi, bahkan, sepertinya, aku lebih
menyayangimu dibanding diriku sendiri.
Masih
terekam jelas di ingatan saat kamu mendatangiku saat itu. Bertanya. Lalu kita
tertawa. Tanpa alasan jelas. Lalu kamu merebut topiku. Memakainya, lalu berlari
menjauh dariku. Saat aku tak lagi memperdulikanmu, kamu berlari ke arahku.
Mengembalikan topiku. Lalu memakaikannya di kepalaku. Tanpa ku sadari.
Terakhir, kamu tersenyum padaku. Senyum membius yang membuatku jatuh.
Tahukah,
hey masa laluku. Aku merindukanmu. Merindukan pesan hangatmu. Merindukan
rangkaian kata yang mampu menghiburku. Merindukan setiap huruf yang tertera di
ponselku, sebagai tanda kekhawatiranmu.
Sampai
saat itu datang. Saat dimana rasa ini hancur. Lebur. Terbawa bersama desau
angin yang tidak terlalu besar. Hatiku... terbang. Menjadi butiran..
Kamu
tahu? Betapa perasaan ini hancur ketika kau berujar ingin mengakhiri semua
perasaanmu padaku. Mengakhiri kisah kita.
Kamu
bilang saat itu, bahwa kamu tak ingin mengangguku. Kamu ingin, aku mengejar
citaku-citaku. Kamu bilang, kamu tak akan menghalangiku untuk itu. Aku percaya.
Ingat kan? Aku percaya padamu.
Tapi
ternyata aku salah. Kamu mematahkan rasa percayaku. Itu bukan alasanmu, kan?
Alasan sebenarnya. Karena ada dia. Dia, si masa lalumu.
Aku
mencoba tegar. Aku berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku berkata aku tidak
terluka. Aku menyangkal bahwa hatiku retak. Aku menyangkal bahwa aku sangat
rapuh. Aku menyangkal bahwa hatiku masih utuh.
Karena
hatiku ternyata tidak utuh lagi. Sebagian, terbawa olehmu.
Hey,
masa lalu. Aku hanya ingin memberitahumu. Kalau melupakanmu itu... menyakitkan.
Sama
menyakitkannya dengan kamu sengaja mengiris tanganmu dengan pisau lalu
menetesinya dengan air jeruk.
Se-menyakitkan-itu.
Bahkan,
mengingatmu saat ini sama menyakitkannya seperti melupakanmu.
Hey,
masa laluku. Dari sini, dari masa kini. Aku melambaikan tangan padamu. Mengucap
salam perpisahan atas semua rasa yang menyakitkan. Aku mengucap perpisahan atas
luka yang kau torehkan dan masih terkenang. Hey
masa laluku, kamu dapat salam dari masa depanku. ;)
0 komentar:
Posting Komentar