Senin, 24 Februari 2014

Dear... You.




Untuk : Kamu yang kukagumi dalam diam.

                Hai, kamu yang selalu kukagumi dalam diam. Apa kabarmu? Aku harap, kamu baik-baik saja. Karena akupun begitu. Aku baik-baik saja. Aku masih menyimpan rasa itu dengan rapi. Jadi tak usah khawatir. Setidaknya, sampai aku menulis surat ini.
                Kepada kamu yang selalu kupandang dalam tatapan memuja, hari ini. Disini, aku ingin mengakui satu hal. Satu hal yang menurutku.. penting. Kalau kau tanya seberapa penting, ini sangat penting. Setidaknya, untuk kau dengar. Untuk kau ketahui. Karena ini menyangkut tentangmu. Tentu saja.

                Hey, sebelumnya, apakah aku boleh bertanya? Jika boleh, hanya satu hal yang selalu ingin aku tanyakan padamu disana. Jadi, mulai kapan kau tak ingat aku lagi?  Oh, aku hampir lupa. Kau bahkan sama sekali lupa kan? Kau tak ingat aku dan kau lupa sejak kapan, kan? Apa? Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja, karena kau tak pernah berusaha mengingatku yang keberadaannya bahkan lebih rendah dari sebuah angin lalu.

                Tapi aku tidak. Berbeda denganmu. Aku bahkan lupa sejak kapan aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Mengingatmu, seperti bernafas bagiku. Menjadi sebuah kebiasaan baru. Aku bahkan selalu mengingatmu tak tentu waktu. Paling sering sih, saat aku sendirian, atau saat malam hari menjelang aku tidur. Kalau kau mau tahu saja sih.

                Hey, kamu yang punya sorot mata yang membuatku jatuh, aku ingin memberitahumu sesuatu. Iya, aku tahu. Tak penting bagimu kan? Tapi ini penting bagku. Aku... merindukanmu. Oh, tolong! Jangan memasang muka terkejut seperti itu. Ini bukan hal baru bagimu kan? Berapa kali aku sering mengatakan ini. Aku merindukanmu. Merindukanmu dengan semua kebiasaanmu. Merindukan kamu bersama senyum itu. Merindukanmu bersama jejak langkahmu. Aku bahkan merindukanmu bersama suaramu yang begitu lucu ketika terdengar di gendang telingaku.

                Kalau kau mau tahu saja ya, aku selalu memutar lagu itu. Lagumu. Yang menyimpan semua kenangan tentangmu untuk ku bekukan. Untuk ku sendiri. Kalau sudah begitu, aku pasti membayangkanmu. Membayangkanmu tersenyum ke arahku. Ya, jangan menyebutku bodoh! Aku tahu, sebenarnya aku memang bodoh. Lebih bodoh dari keledai sepertinya. Mengingat kamu, tak mungkin melakukan itu—tersenyum kepadaku maksudnya.

                Beberapa orang mengatai aku bodoh, Senja. Oia, aku lupa memberitahumu. Aku punya panggilan baru untukmu. Pria Senja. Bagus bukan? Tentu saja. Itu kuambil, karena aku begitu menyukai Senja. Seperti aku menyukaimu. Selain itu, kau memang pantas mendapatkan itu. Kau lembut, kau indah, kau membuatku menatapmu dengan pandangan memuja. Tapi itu hanya berlangsung sekejap. Aku hanya dapat menikmatinya sekejap. Sebelum tertelan oleh malam. Sebelum semua hilang dalam pandanganku ketika kamu menoleh dan aku langsung berpaling.

                Katakan saja, Senja. Katakan bahwa aku memang bodoh. Katakan bahwa aku memang tak pantas untuk ini. Katakan saja. Aku bahkan tidak keberatan sama sekali.

                Temanku berkata, bahwa aku terlalu bodoh untuk memutuskan berenang sendirian. Aku setuju, aku memang bodoh untuk berenang sendirian dalam perasaan ini. Sementara kulihat kamu bahkan tak mendekati air. Jangankan mendekati, aku bahkan tak melihat dari sorot matamu bahwa kamu melihat air itu. Melihat aku.

                Aku berkata, bahwa aku terpeleset secara tak sengaja ke arus perasaan ini. Tapi lagi-lagi temanku berkata bahwa aku bukan terpeleset, melainkan menjatuhkan diri secara sengaja. Tapi taukah? Selama aku berenang sendirian, aku—tidak—baik-baik saja. Aku terluka.

                Pasti kau bertanya dimana ujung surat ini kan, Senja? Mari kuberitahu. Ujung surat ini, sama dengan ujung perasaanku. Jangan kaget. Karena kamu yang berharap begitu bukan?
                
                Iya. Aku memutuskan menyudahinya. Aku memutuskan mengakhirinya. Aku memutuskan tak lagi menyimpan perasaan diam-diam ini. Aku memutuskan lebih baik membuangnya daripada memberitahumu yang sebenarnya. Aku mungkinakan menyesal nanti, tapi aku tak peduli!

                Aku tak peduli lagi terhadap apa yang membuatku terpesona olehmu. Aku tak peduli, Senja! Yang aku tahu, aku.. lelah. Sangat lelah. Lelah mengingatmu, lelah merindukanmu, lelah akan semua perasaan ini.

                Aku lelah berpura-pura, aku lelah terlihat baik-baik saja. Aku lelah untuk berpura-pura tak melihatmu ketika kau lewat. Aku lelah untuk mengabaikan perasaanku yang begitu senang ketika tak sengaja mata kita beradu pandang. Aku lelah berusaha tidak peduli, walau sebenarnya, aku begitu memperdulikanmu.

                Sepertinya aku sudah berada di ujung perjalananku, Senja.

                Terakhir, Senja, terimakasih. Terimakasih atas semua perasaan ini. Terimakasih karena telah memberikanku pelajaran untuk “Memberikan tanpa pamrih”. Terimakasih telah mengajariku ketulusan dalam hal ini. Satu yang perlu kau ingat,

                Aku menyukaimu seperti aku menyukai Senja pada langit.
P.S : Oia, Senja. Aku bertekad kali ini. tak seperti ucapanku sebelumnya yang akhirnya berakhir bualan. Semoga kau membantuku ya J



Regards,
Aku, seseorang yang menyukai Pria Senja.

3 komentar: