Untuk : Kamu yang kukagumi dalam diam.
Hai,
kamu yang selalu kukagumi dalam diam. Apa kabarmu? Aku harap, kamu baik-baik
saja. Karena akupun begitu. Aku baik-baik saja. Aku masih menyimpan rasa itu
dengan rapi. Jadi tak usah khawatir. Setidaknya, sampai aku menulis surat ini.
Kepada
kamu yang selalu kupandang dalam tatapan memuja, hari ini. Disini, aku ingin
mengakui satu hal. Satu hal yang menurutku.. penting. Kalau kau tanya seberapa
penting, ini sangat penting. Setidaknya, untuk kau dengar. Untuk kau ketahui.
Karena ini menyangkut tentangmu. Tentu saja.
Hey,
sebelumnya, apakah aku boleh bertanya? Jika boleh, hanya satu hal yang selalu
ingin aku tanyakan padamu disana. Jadi, mulai kapan kau tak ingat aku
lagi? Oh, aku hampir lupa. Kau bahkan sama
sekali lupa kan? Kau tak ingat aku dan kau lupa sejak kapan, kan? Apa?
Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja, karena kau tak pernah berusaha mengingatku
yang keberadaannya bahkan lebih rendah dari sebuah angin lalu.
Tapi
aku tidak. Berbeda denganmu. Aku bahkan lupa sejak kapan aku tidak bisa
berhenti memikirkanmu. Mengingatmu, seperti bernafas bagiku. Menjadi sebuah
kebiasaan baru. Aku bahkan selalu mengingatmu tak tentu waktu. Paling sering
sih, saat aku sendirian, atau saat malam hari menjelang aku tidur. Kalau kau
mau tahu saja sih.
Hey,
kamu yang punya sorot mata yang membuatku jatuh, aku ingin memberitahumu
sesuatu. Iya, aku tahu. Tak penting bagimu kan? Tapi ini penting bagku. Aku...
merindukanmu. Oh, tolong! Jangan memasang muka terkejut seperti itu. Ini bukan
hal baru bagimu kan? Berapa kali aku sering mengatakan ini. Aku merindukanmu.
Merindukanmu dengan semua kebiasaanmu. Merindukan kamu bersama senyum itu.
Merindukanmu bersama jejak langkahmu. Aku bahkan merindukanmu bersama suaramu
yang begitu lucu ketika terdengar di gendang telingaku.
Kalau
kau mau tahu saja ya, aku selalu memutar lagu itu. Lagumu. Yang menyimpan semua
kenangan tentangmu untuk ku bekukan. Untuk ku sendiri. Kalau sudah begitu, aku
pasti membayangkanmu. Membayangkanmu tersenyum ke arahku. Ya, jangan menyebutku
bodoh! Aku tahu, sebenarnya aku memang bodoh. Lebih bodoh dari keledai
sepertinya. Mengingat kamu, tak mungkin melakukan itu—tersenyum kepadaku
maksudnya.
Beberapa
orang mengatai aku bodoh, Senja. Oia, aku lupa memberitahumu. Aku punya
panggilan baru untukmu. Pria Senja. Bagus bukan? Tentu saja. Itu kuambil,
karena aku begitu menyukai Senja. Seperti aku menyukaimu. Selain itu, kau
memang pantas mendapatkan itu. Kau lembut, kau indah, kau membuatku menatapmu
dengan pandangan memuja. Tapi itu hanya berlangsung sekejap. Aku hanya dapat
menikmatinya sekejap. Sebelum tertelan oleh malam. Sebelum semua hilang dalam
pandanganku ketika kamu menoleh dan aku langsung berpaling.
Katakan
saja, Senja. Katakan bahwa aku memang bodoh. Katakan bahwa aku memang tak
pantas untuk ini. Katakan saja. Aku bahkan tidak keberatan sama sekali.
Temanku
berkata, bahwa aku terlalu bodoh untuk memutuskan berenang sendirian. Aku
setuju, aku memang bodoh untuk berenang sendirian dalam perasaan ini. Sementara
kulihat kamu bahkan tak mendekati air. Jangankan mendekati, aku bahkan tak
melihat dari sorot matamu bahwa kamu melihat air itu. Melihat aku.
Aku
berkata, bahwa aku terpeleset secara tak sengaja ke arus perasaan ini. Tapi
lagi-lagi temanku berkata bahwa aku bukan terpeleset, melainkan menjatuhkan
diri secara sengaja. Tapi taukah? Selama aku berenang sendirian,
aku—tidak—baik-baik saja. Aku terluka.
Pasti
kau bertanya dimana ujung surat ini kan, Senja? Mari kuberitahu. Ujung surat
ini, sama dengan ujung perasaanku. Jangan kaget. Karena kamu yang berharap
begitu bukan?
Iya.
Aku memutuskan menyudahinya. Aku memutuskan mengakhirinya. Aku memutuskan tak
lagi menyimpan perasaan diam-diam ini. Aku memutuskan lebih baik membuangnya
daripada memberitahumu yang sebenarnya. Aku mungkinakan menyesal nanti, tapi
aku tak peduli!
Aku
tak peduli lagi terhadap apa yang membuatku terpesona olehmu. Aku tak peduli,
Senja! Yang aku tahu, aku.. lelah. Sangat lelah. Lelah mengingatmu, lelah
merindukanmu, lelah akan semua perasaan ini.
Aku
lelah berpura-pura, aku lelah terlihat baik-baik saja. Aku lelah untuk
berpura-pura tak melihatmu ketika kau lewat. Aku lelah untuk mengabaikan
perasaanku yang begitu senang ketika tak sengaja mata kita beradu pandang. Aku
lelah berusaha tidak peduli, walau sebenarnya, aku begitu memperdulikanmu.
Sepertinya
aku sudah berada di ujung perjalananku, Senja.
Terakhir,
Senja, terimakasih. Terimakasih atas semua perasaan ini. Terimakasih karena
telah memberikanku pelajaran untuk “Memberikan tanpa pamrih”. Terimakasih telah
mengajariku ketulusan dalam hal ini. Satu yang perlu kau ingat,
Aku menyukaimu seperti aku
menyukai Senja pada langit.
P.S : Oia, Senja. Aku bertekad kali ini. tak
seperti ucapanku sebelumnya yang akhirnya berakhir bualan. Semoga kau
membantuku ya J
Aku, seseorang yang menyukai Pria Senja.
kowe rapopo wid? :')
BalasHapusHooh. Aku rapopo ul :'D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus